Sukses

Kelebihan dan Kelemahan RI di Mata Investor Jepang

Pertimbangan investor Jepang untuk berinvestasi di Indonesia salah satunya soal jumlah penduduk yang besar.

Liputan6.com, Tokyo - Indonesia memiliki sejumlah keunggulan di mata investor Jepang, yang membuat para investor tersebut ingin menanamkan modal di Tanah Air. Namun demikian ada titik lemah yang dimiliki Indonesia yang menjadi bahan pertimbangan para investor tersebut.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tokyo, Puji Atmoko mengatakan, dari hasil survei yang dilakukan Japan Bank for International Corporation (JBIC), Indonesia berada di urutan tiga atau empat sebagai negara tujuan investasi Jepang.

"Di situ ada survei yang kurang lebih survei itu menggambarkan dari perusahaan manufaktur Jepang di luar Jepang. Jadi katakanlah Toyota yang di Vietnam, di Beijing, di India dan Indonesia. Dari hasil survei itu menunjukkan Indonesia di kisaran nomor tiga atau empat. Jadi nomor 1 di hasil survei itu adalah China, nomor 2 India, nomor 3 Vietnam, nomor 4 Indonesia, nomor 5 Thailand. Jadi di mata mereka kita masih di lima besar ini," ujar dia di Tokyo, Jepang, Kamis (31/1/2019).

‎Menurut Puji, pertimbangan investor Jepang untuk berinvestasi di Indonesia salah satunya soal jumlah penduduk yang besar. Hal ini menjadi pasar yang menjanjikan bagi perusahaan-perusahaan Jepang.

"Pertama marketnya kita yang besar. Kedua, pertumbuhan ekonominya masih tinggi di atas lima persen. Ketiga infrastruktur makin baik. Juga iklimnya kondusif," kata dia.

Namun demikian, Indonesia juga memiliki kelemahan di mata investor Jepang. Salah satunya soal perizinan yang masih banyak menghadapi hambatan, khususnya di daerah.

"Pertama, eksekusi masalah legal itu sering kali tidak clear. Yang kedua, persaingannya di Indonesia makin ketat. Kemudian yang ketiga, upah yang relatif terus naik. Jadi begitu upah naik, mereka merelokasi ke tempat lain," ungkap dia.

Hal juga menjadi kelemahan Indonesia di mata investor Jepang yaitu soal loyalitas pekerja Indonesia. Perusahaan asal Negeri Sakura yang ada di Indonesia mayoritas berharap para pekerjanya untuk bertahan lama bekerja di perusahaannya.

"Yang keempat itu masalah manajemen stafnya. Itu orang Indonesia, pegawai-pegawai di perusahaan Jepang itu lebih mudah pindah, jadi dia dididik dua tahun terus pindah lagi. Padahal tradisinya Jepang itu dari awal masuk berharap sampai pensiun di situ. Kayak di Amerika yang pindah-pindah. Jepang itu kan dikenal untuk masuk di perusahaannya dididik. Dididik dulu, disekolahkan di Jepang enam bulan, supaya bisa sampai di level apa. Mereka anggap itu sebagai titik lemah," tandas dia.

 

2 dari 2 halaman

Ada Pilpres, Investor Jepang Tetap Tanam Duit di Indonesia

Investor asal Jepang diyakini masih optimistis untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Meski di 2019 ini merupakan tahun politik dengan digelarnya Pemilihan Presiden (Pilpres).

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tokyo, Puji Atmoko mengatakan, tahun politik tidak akan berdampak pada kepercayaan investor asal Jepang terhadap ekonomi Indonesia. Sebab, perusahaan lembaga pembiayaan asal Jepang telah lama menanamkan modalnya di Indonesia.

"Kayanya enggak pengaruh (Pilpres). Jepang ini kalau lihat organ sudah lengkap, kalau mau masuk (ke suatu negara) tidak masuk sendiri. Di Indonesia organnya sudah ada. Ada JBIC, JICA, Jetro.‎ Artinya dia sudah tahu persis tentang Indonesia. Mereka investasi itu dia senang kalau sudah punya teman (investor Jepang lain)," ujar di Tokyo, Jepang, Kamis (31/1/2019).

Menurut dia, investor Jepang melihat Indonesia telah matang dalam menghadapi Pilpres. Sehingga tidak ada kekhawatiran yang berlebihan dari para investor tersebut.

"Jepang sudah matang di Indonesia. Ada beberapa orang melihat Indonesia siapa pun yang memimpin, tidak akan berpengaruh. Itu karena sudah matang," ungkap dia.

Selain itu, lanjut Puji, berdasarkan pengalaman sebelumnya, penyelenggaraan Pilpres justru menjadi motor pendorong bagi perekonomian Indonesia. Sebab, konsumsi masyarakat meningkat pada periode tersebut.

"Kegiatan pemilu mengenderit aktivitas ekonomi. Bukan menjadi sesuatu tidak positif. Tapi makin positif," tandas dia.