Liputan6.com, Jakarta Masifnya pembangunan infrastruktur untuk jalan tol yang menggunakan utang atau pinjaman banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Bahkan, hal ini sering dikaitkan dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola proyek infrastruktur.
Head of Corporate Finance Jasa Marga Eka Setya Adrianto memberikan pandangan lain terkait utang tersebut. Menurutnya, berutang merupakan tanda bahwa perseroan atau Indonesia dipercaya untuk menggarap suatu proyek.
"Orang berutang itu berarti mereka punya trust. Investor tentu enggak mau minjemin duitnya kalau besok Indonesia bubar kan? Tidak semudah itu," jelasnya di Menara BCA, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019).
Advertisement
Eka menggambarkan, kegiatan berutang sama saja dengan seseorang yang ingin membeli rumah. Dikatakan jika seseorang tidak mungkin membeli rumah langsung secara tunai (cash).
"Sama sajalah dengan orang beli rumah. Saya rasa orang beli rumah enggak ada yang cash. Nah, idealnya kan sepertiga dari penghasilan kita. Kalau lebih tinggi, itu yang problem," ujarnya.
Eka menambahkan, karakter bisnis infrastruktur sendiri memang membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, lini bisnis pada sektor ini perlu dinilai secara berbeda dengan industri lain.
"Infrastruktur kan memang nafasnya panjang, butuh waktu dia bisa service debt-nya tapi again infrastruktur itu bisnis yang menarik karena sudah berkali-kali terkena paparan krisis seperti 2015 tapi revenue stream-nya tetap tinggi, tumbuh. Selama kita butuh transportasi, maka itu akan well-protected dari investor," tandas dia.
Bisakah Indonesia Bangun Infrastruktur Tanpa Utang?
Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2018 sebesar USD 372,9 miliar atau setara Rp 5.258 triliun (USD 1=Rp 14.101). Rasio utang tersebut 34 persen terhadap PDB. Pemerintah pun selalu menegaskan, bertambahnya utang karena gencar melakukan pembangunan infrastruktur.
Lalu bisakah Indonesia membangun infrastruktur tanpa mengandalkan utang?
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pembangunan infrastruktur masif di era Jokowi-JK untuk mengejar ketertinggalan yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Akibatnya, untuk mencari pembiayaan, pemerintah berupaya mencari cara cepat.
"Salah satunya kan karena memang misi atau ambisi Pak Jokowi untuk membangun infrastruktur pengennya ngebut nih. Karena kita memang tertinggal cukup lama. Pak Harto 30 tahun berkuasa dengan segala kekurangannya dia bangun jalan tol memang sudah ada tuh Jagorawi segala macam tapi lambat banget," ujarnya dalam sebuah diskusi di Kawasan Tebet, Jakarta, Sabtu (19/1/2019).
Bhima melanjutkan, pembiayaan cepat yang dikaji tentu bukan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab APBN adalah instrumen yang digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional dalam negeri baik belanja pegawai, belanja modal, pendidikan, kesehatan dan beberapa hal lain.
Baca Juga
"Problemnya kalau kita lihat dari nafsu atau mimpi besar Jokowi untuk membangun infrastruktur itu APBN tidak cukup. Pastinya tidak akan cukup. Apbn itu sebagian besar sudah habis 23 persen habis untuk belanja pegawai, sebagian lagi untuk belanja operasional dalam bentuk belanja barang, pengadaan itu sifatnya konsumtif," jelasnya.
Setelah mempertimbangkan kondisi APBN, pemerintah tentu mengandalkan pos-pos lain untuk mencari pendanaan dalam rangka mewujudkan terhubungnya Indonesia dari Sabang hingga Merauke melalui pembangunan infrastruktur. Salah satu yang diandalkan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta.
Namun, karena satu dan lain hal maka swasta seiring berjalannya waktu tidak tertarik melakukan investasi. Dengan kondisi ini, maka BUMN menjadi korban untuk mencari sebanyak-banyaknya pendanaan yang tentunya dijamin oleh negara.
"Swasta bilang saya tertarik untuk masuk ke proyek infrastruktur. Problemmnya itu adalah bukan pendanaan, swasta bisa nyari dana dari bank, dana dari saham, dari utang pinjaman lain. Swasta bisa cari banyak mekanisme itu. Yang jadi pertanyaan sekarang ini kenapa swasta tidak masuk dan porsinya itu cenderung mengalami penurunan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Masalah adalah pembebasan lahan. Pembebasan lahan itu butuh waktu 10 sampai 20 tahun," tandasnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement