Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior INDEF, Nawir Messi mengatakan, salah satu penyebab perlambatan investasi di Indonesia disebabkan ekonomi masih belum efisien. Ekonomi yang tidak efisien tersebut dapat dilihat dari ratio ICOR (Incremental Capital Output Ratio).
"Tentu menjadi pertanyaan kalau ada perubahan yang menghambat investment orang cenderung lari. Indikator bisa kita lihat ICOR," kata dia, dalam diskusi, di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Dia menuturkan, nilai ICOR Indonesia sempat memburuk pada periode 2011-2015. Pada 2011, ICOR Indonesia sebesar 5,02. Pada 2015 meningkat ke 6,64. Dia menuturkan, semakin besar nilai ICOR, semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.
Advertisement
"Saya highlight ICOR, 2011-2015 ada proses makin memburuk ICOR semakin membesar," ungkap dia.
Baca Juga
Sejak 2016 ada perbaikan ICOR, hingga pada tahun 2018 ICOR Indonesia mencapai 6,3. Meskipun demikian angka ini jauh lebih besar dibandingkan negara se-kawasan. Diketahui, ICOR Malaysia sebesar 4,6, Filipina (3,7), Thailand (4,5), dan Vietnam (5,2).
"Kalau lihat perbandingan ICOR negara se-kawasan kita ini relatif tak efisien dibandingkan hampir semua negara ASEAN apalagi dibandingkan Malaysia Filipina, Thailand kita ketinggalan. Something wrong, banyak masalah," tutur dia.
Sebagai informasi, ICOR merupakan rasio investasi (incremental capital) terhadap pertumbuhan ekonomi (output).
Jika suatu negara memiliki ICOR 6 berarti setiap penambahan PDB Rp 1 diperlukan investasi tambahan sebesar Rp 6. Jika suatu negara memiliki ICOR 3 berarti setiap penambahan PDB Rp 1 diperlukan investasi tambahan sebesar Rp 3.
Oleh karena itu, dari perhitungan tersebut terlihat negara yang memiliki nilai ICOR 3 jelas lebih efisien dibandingkan negara yang memiliki nilai ICOR 6.Â
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Â
BKPM Yakin Investasi Tetap Moncer pada Tahun Politik
Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) optimis investasi akan tetap tumbuh meski masuk tahun politik. Pada 2019 ini, BKPM menargetkan investasi sebesar Rp 792,3 triliun atau tumbuh 9,84 persen dibandingkan 2018.
Direktur Wilayah I BKPM, Agus Joko Saptono mengatakan, realisasi investasi di 2018 sebesar 94 persen dari target Rp 721,3 triliun atau sekitar Rp 677 triliun.
Meski Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada 2018 naik 25,3 persen yaitu sebesar 328,6 triliun dari Rp 262,3 triliun di 2017. Namun Penanaman Modal Asing (PMA) justru turun 8,8 persen yaitu sebesar Rp 392,7 triliun dibandingkan 2017 yang mencapai Rp 430,5 triliun.
"Memasuki semester II memang sudah ada indikasi turun karena nikai tukar rupiah yang terkoreksi dan trade war AS-China," ujar dia di Jakarta, Kamis 7 Februari 2019.
Selain itu, lanjut dia, ada juga kekhawatiran terkait masuknya tahun politik sehingga membuat investor menahan investasinya. Hal ini merupakan siklus yang terjadi tiap 5 tahun atau jelang Pemilihan Presiden (Pilpres).
"Tentu juga kita memasuki siklus di mana tahun politik selalu ada penurunan," tuturnya.
Namun demikian, Agus tetap optimis investasi bisa tumbuh di 2019. Pada tahun ini, BKPM menargetkan investasi sebesar Rp 792,3 triliun.
"Tetapi saya merasa ke depan positif, karena meski di siklus ini (tahun politik), pertumbuhan ekonomi masih 5,17 persen, dibandingkan 2014 yang sebesar 5,02 persen. Di 2019 kami masih optmis akan naik. BKPM juga tengah menunggu sesuai dengan disampaikan pada awal Maret pengelolan sistem OSS akan dilakukan di BKPM. Kami akan melakukan perbaikan sehingga OSS bisa dimanfaatkan dengan baik dan pro investor," tandas dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement