Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan di awal pekan ini. Pelemahan ini disebabkan sentimen dari defisit neraca pembayaran.
Mengutip Bloomberg, Senin (11/2/2019), rupiah dibuka di angka 13.987 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.955 per dolar AS. Menjelang siang, rupiah terus tertekan hingga tembus level 14.045 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.985 per dolar AS hingga 14.047 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih mampu menguat 2,4 persen.
Advertisement
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah di patok di angka 13.995 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan pada Jumat lalu yang ada di angka 13.992 per dolar AS.
Baca Juga
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi bergerak melemah seiring rilis defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2018 yang dirilis Jumat sore lalu.
"NPI untuk tahun 2018 tercatat defisit sebesar USD 7,1 miliar. Defisit NPI terjadi selama tiga triwulan berturut-turut, namun pada kuartal IV 2018 mencatatkan surplus sebesar USD 5,4 miliar," kata Ekonom Samuel Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, dikutip dari Antara.
Surplus pada kuartal IV 2018 terjadi karena naiknya neraca modal dan finansial, terutama bersumber dari investasi portofolio sebesar USD 10,4 miliar, sementara investasi langsung atau penanaman modal asing melambat.
Surplus pada kuartal IV 2018 yang tercatat sebesar USD 15,6 miliar bisa menutup defisit pada neraca transaksi berjalan yang tercatat sebesar USD 9,1 miliar pada kuartal IV 2018 atau minus 3,57 persen dari PDB.
Sementara itu, secara keseluruhan tahun 2018, defisit neraca transaksi berjalan tercatat sebesar 2,98 persen dari PDB, meningkat dibandingkan kinerja 2017 yang sebesar 1,6 persen dari PDB.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ekonom Indef Ragu Rupiah Bakal Terus Menguat
Sebelumnya, Pemerintahan Jokowi-JK mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 15.000 per dolar AS. Angka ini berubah dari Rancangan APBN-2019 sebesar 14.00 per dolar AS.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Alviliani, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah pada tahun ini memang sulit untuk diprediksi. Sebab, kondisi perekonomian global yang terus bergejolak membuat nominal mata uang Garuda ini cenderung terus bergerak.
"Satu hal terkait dengan rupiah. rupiah saat ini sedang cenderung menguat terus ya. Jadi ini juga satu hal yang perlu kita cermati apakah akan terus menguat, keliatannya belum bisa kita pastikan," kata dia dalam acara Dialog Ekonomi Perbankan, di Jakarta, pada Rabu 30 Januari 2019.Â
BACA JUGA
Aviliani mengatakan, penguatan rupiah yang terjadi saat ini karena didorong berbagai faktor. Salah satunya melalui aliran modal dana asing yang masuk ke Indonesia cukup deras. Namun, dirinya meragukan, penguatan ini tidak akan berlangsung lama.
"Tapi apakah nanti setelah April ini akan terus menguat? artinya bahwa kita harus mengasumsikan nilai tukar rupiah ini lebih cenderung punya namanya antara, jadi jangan sampai pada satu angka, tidak bisa juga kita liat 14.000 per dolar AS ini seterusnya. Tapi kita harus bisa membuat range antara 14.000 per dolar AS hingga Rp 15.000 per dolar AS," jelasnya.
Aviliani menekankan, untuk menjaga kondisi penguatan rupiah pemerintah bersama Bank Indonesia perlu melakukan beebagai langkah. Caranya dengan mengkonversikan rupiah kepada beberapa mata uang negara asal tujuan. Artinya tidak hanya berfokus pada satu mata uang yakni dolar AS.
"Kita perlu cermati mungkin yen, yuan, euro di mana transaksi dagang kita termasuk pinjaman kita banyak yen ke Jepang, tapi belum dikonversi ke yen. Ini salah satu cara menyeimbangkan mata uang kita,"Â pungkasnya.
Advertisement