Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo menyebut impor jagung sudah turun tajam dari 3 juta ton menjadi hanya 180 ribu ton. Pernyataan itu ia bagikan dalam awal debat capres kedua.
"Terima kasih kepada petani, jagung 2014 kita masih impor 3,5 jtua ton jagung. 2018, 180 ribu ton jagung, ada produksi 3,3 juta ton yang telah dilakukan petani ini lompatan besar,” ujar Jokowi, Minggu (17/2/2019) di Hotel Sultan, Jakarta.
Bila melihat data hingga tahun 2015, pernyataan Jokowi benar. Pada tahun 2015, impor jagung sebesar 3,27 juta ton menurut data Badan Pusat Statistik.
Advertisement
Baca Juga
Pada 2012 impor jagung tercatat sebesar 1,69 juta ton, kemudian naik menjadi 3,19 juta ton di 2013, sebesar 3,25 juta ton di 2014 dan di 2015 sebesar 3,27 juta ton. Namun pada 2016 impor jagung hanya sebesar 900 ribu ton, demikian data BPS yang dikutip Liputan6.com.
Terakhir, per November tahun 2018, jumlah impor jagung turun menjadi kisaran 171 ribu ton. Ini disampaikan oleh Kementerian Perdagangan.
"(Volume) 171 ribuan ton. Sudah saya keluarkan (izinnya) tinggal tanya kapan masuknya ke mereka. Yang impor industri kaya Miwon, Indofood. Ada lima perusahaan," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan pada 6 Februari 2018.
Ini artinya, impor jagung terakhir memang sudah turun jauh sejak Jokowi baru menjabat. Dan berdasarkan laporan terkahir, jumlahnya pun 171 ribu ton atau justru lebih rendah dari klaim Jokowi.
Data Soal Produksi Beras dan Jagung Dinilai Memuaskan
Pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai telah cukup berhasil membenahi tata kelola informasi produksi pertanian dibandingkan era sebelumnya.
Demikian dikemukakan anggota Komisi IV DPR RI I Made Urip, Sabtu (16/2/2019).
Urip menuturkan, penataan informasi pertanian itu terbukti dengan ketegasan Presiden Joko Widodo mengembalikan segala sumber datanya kepada Badan Pusat Statistik (BPS).
"Misalnya data beras, kan tetap stoknya lebih. Perbedaannya kan cuma hitungan kuantitasnya sebelum disampaikan resmi oleh BPS," ucap Urip.
Menurut Urip, kalaupun terjadi selisih akurasi jumlah ketersediaan beras nasional, lebih kepada aspek teknis menyangkut metodologi perhitungan di lapangan saja.
Namun untuk yang pembahasan substantif terkait ketersediaan serta hasil produksinya, secara nyata telah terbukti memuaskan dengan surplus beras di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Yang terjadi kan sudah lama sebelum pemerintahan Joko Widodo banyak data, ternasuk pertanian, tidak terungkap jelas. Justru sekarang kita semua tahu," ujar Urip.
Oleh sebab itu, Urip menampik tudingan bahwa pada masa pemerintahan Joko Widodo terjadi kesemrawutan data pertanian subsektor beras.
"Pikiran keliru kalau mengatakan data pertanian, seperti beras, tidak akurat. Sekarang kan justru semua transparansi informasi datanya," kata Urip.
Sedangkan Dekan Fakultas Pertanian IPB Suwardi menyoroti mengenai pembahasan impor jagung yang menjadi polemik beberapa waktu lalu.
Suwardi mengungkapkan, data produksi jagung memang menunjukkan surplus. Kendati begitu, bukan jaminan bahwa surplusnya stok jagung mampu memenuhi segala kebutuhan konsumsi nasional.
Advertisement