Liputan6.com, New York - Harga minyak naik dalam lima hari berturut-turut pada Senin (Selasa pagi WIB) ditopang keyakinan investor bahwa pengurangan pasokan dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bisa mencegah penumpukan stok minyak, meski ada kekhawatiran terhadap ekonomi China menahan kenaikan.
Dikutip dari Reuters, Selasa (19/2/2019), harga minyak berjangka Brent naik USD 16 sen menjadi USD 66,41 per barel usai menyentuh level tertinggi 2019 USD 66,83 pada hari sebelumnya. Sementara harga minyak berjangka Amerika Serikat (AS) jenis West Texas Intermediate naik USD 47 sen menjadi USD 56,04 per barel.
Advertisement
Harga minyak telah naik hampir 25 persen sepanjang tahun ini dan berada di jalur kinerja kuartal pertama terkuat sejak 2011, sebagian besar berkat komitmen OPEC dan sekutunya yang akan memangkas produksi.
Penyulingan di seluruh dunia juga harus membayar lebih untuk mengamankan pasokan minyak jenis medium atau berat yang diproduksi oleh Iran dan Venezuela, sebab kedua negara tersebut berada di bawah sanksi AS.
Penguatan pasar keuangan sedikit mereda setelah data yang menunjukkan penurunan penjualan mobil China pada bulan Januari menimbulkan kekhawatiran tentang ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Beberapa kelemahan ini menular di pasar minyak, tetapi analis mengatakan tren keseluruhan harga minyak mentah tetap meyakinkan untuk saat ini.
“Ada banyak 'jika' dan 'tetapi' yang dapat memiliki dampak mendalam pada harga minyak; pikirkan saja Donald Trump, Brexit, perundingan dagang yang tidak terduga dan kemungkinan akan terjadi di Libya atau produksi Venezuela, ”kata analis Associate PVM Oil Tamas Varga.
Sejumlah analis mengatakan kenaikan terus dalam produksi minyak AS dapat menjadi hambatan reli harga minyak saat ini. Perusahaan energi AS apada minggu lalu menambah 3 rig menjadi 857 rig untuk mencari pasokan minyak baru, kata perusahaan jasa energi Baker Hughes dalam sebuah laporan Jumat lalu.
"Kami melihat kenaikan harga minyak saat ini sebagai berlebihan dan melihat potensi koreksi pertumbuhan tersebut," kata Commerzbank dalam sebuah catatan. "Fakta bahwa produksi minyak di AS saat ini meningkat secara signifikan lebih tajam dari yang diperkirakan sebelumnya sepenuhnya diabaikan saat ini."