Liputan6.com, Chicago - Ritel sepatu legenda, Payless ShoeSource, akan bangkrut untuk kedua kalinya. Sempat bangkit, kali ini Payless akan benar-benar menutup bisnisnya.
Payless yang sudah beroperasi selama 63 tahun akhirnya mengajukan perlindungan kebangkrutan (bankruptcy protection) chapter 11 pada Senin pekan lalu kurang dari dua tahun setelah kebangkrutan sebelumnya. Demikian dilansir dari CNN, seperti ditulis Minggu (24/2/2019).
Advertisement
Baca Juga
Pengajuan ini merupakan tindak lanjut setelah ditutupnya 2.500 toko di seluruh Amerika Serikat dan Kanada Minggu lalu. Penutupan ritel dimulai dari Maret hingga akhir Mei 2019. Diperkirakan sekitar 16 ribu karyawan kehilangan pekerjaannya.
Selain Payless, beberapa brand seperti RadioShack, American Apparel, dan Gymboree mengalami nasib yang sama. Brand Sears masih berjuang agar tidak bangkrut hingga saat ini untuk meyakinkan konsumen mereka dapat memberikan yang terbaik.
"Kenyataannya, jika konsumen sudah memandang ritel secara berbeda, maka keputusan untuk bangkrut tidak akan mengubah apa pun," ujar Philip Emma, analis senior di DebtWire.
Â
Sudah terlalu banyak utang
Stephen Merrota, Chief Restructuring Officer Payless, menilai Payless sudah memiliki terlalu banyak utang. Toko dan kepala pimpinan nyatanya juga tidak bisa menyelamatkan brand ini dari kebangkrutan.
Selain itu, Payless juga mengalami beberapa masalah operasional, seperti sistem komputer yang tiba-tiba rusak saat diskon back-to-school tahun lalu. Hingga akhirnya memaksa perusahaan untuk memotong harga besar-besaran. Payless Amerika Utara saja sudah rugi USD 63 juta atau sekitar Rp 884,92 miliar kala itu (asumsi kurs Rp 14.046 per dolar AS).
Perusahaan berutang USD 1,3 juta atau sekitar Rp 18,26 miliar untuk pesangon karyawan yang berhenti sebelum kebangkrutan terjadi, tapi tidak yakin dapat membayarnya atau tidak. Payless juga tidak yakin bisa membayar pesangon untuk karyawan yang telah diberhentikan.
Payless akan tetap membuka 420 toko di 20 negara, terutama di Amerika Latin, US Virgin Islands, Guam dan Saipan. Namun, toko utama di Amerika Utara akan tutup.
Â
Advertisement
Untungnya, peluang kerja ritel masih terbuka lebar
Untungnya, kebangkrutan ini tidak membawa dampak yang begitu buruk bagi para pencari kerja. Ritel-ritel di Amerika Serikat saat ini kesulitan mencari karyawan, dan diharapkan pekerja yang diberhentikan dari Payless dapat mengisi posisi di ritel-ritel lain.
Berdasarkan data Departemen Ketenagakerjaan, hanya 4,3 persen saja yang belum mendapatkan pekerjaan setelah penutupan ritel.
Meski jumlah pekerjaan di ritel telah menurun, jumlah orang yang berminat bekerja di industri juga turun lebih cepat . Hal tersebut membuat perusahaan menaikkan insentif untuk para karyawannya agar mereka tetap bertahan.
Sebut saja Walmart, bisnis ritel terbesar di Amerika yang memiliki 1,5 juta karyawan, memberi bonus yang besar bagi karyawan yang rajin datang ke kantor.
Target juga menaikkan upah minimun mereka menjadi USD 15 per jamnya. Hal ini dianggap wajar, karena pegawai yang berdedikasi dinilai pantas mendapatkannya.
"Ini merupakan pasar yang sehat. Ritel merupakan bisnis yang sulit, oleh karena itu kita harus memilih pegawai yang tepat. Tidak ada salahnya memberikan insentif untuk mereka yang telah bekerja keras untuk bisnis ini," ujar Greg Portell, mitra utama untuk praktik ritel konsultan A.T. Kearney.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â