Liputan6.com, Beijing - Perusahaan China menuntut para bos agar tidak bertanya mengenai status pernikahan pegawainya ketika wawancara. Pertanyaan seputar anak pun diminta agar tak ditanyakan.
Ini dimaksudkan agar mendorong partisipasi perempuan di dunia kerja serta menghapus diskriminasi, demikian laporan Thomson Reuters Foundation News.
Sebanyak sembilan badan pemerintah, termasuk kementerian, sudah mengingatkan larangan bias gender ketika mencari pegawai. Ini termasuk larangan bertanya tentang status pernikahan dan anak.
Advertisement
Baca Juga
"Kesetaraan gender adalah kebijakan fundamental di negara kita," jelas pengumuman pemerintah. "Mempromosikan penerimaan setara bagi wanita akan memperkuat partisipasi aktivitas sosial dan ekonomi."
Langkah pemerintah China disambut baik oleh Qianqian, sebuah firma hukum yang membantu wanita di dunia hukum. Namun, ada catatan penting: legalitas.
"Ini adalah langkah yang baik untuk menunjukkan pemerintah serius mengatasi masalah kesetaraan gender, tetapi kekhawatiran kita adalah itu adalah sebuah panduan saja, itu tidak mengikat secara hukum," ucap pengacara Lv Xiaoquan dari Qianqian.
Tahun lalu, perusahaan tekno besar di China seperti Alibaba, Baidu, dan Tencent, telah berjanji mengatasi bias gender dalam perekrutan setelah muncul kritikan dari Human Rights Watch.
Persentase pegawai perempuan di China terhitung besar, tetapi angka itu menurun dalam beberapa tahun belakangan karena populasi yang menua.
IMF Sebut Teknologi Ancam Wanita Pekerja, Ini Solusi dari Menkeu Sri Mulyani
Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan, 26 juta perempuan di 30 negara akan kehilangan pekerjaan karena peran mereka tergantikan oleh teknologi alias otomatisasi.
Perkiraan itu terkandung dalam laporan IMF berjudul:Â "Gender, Technology and the Future Work"yang dipaparkan di sela Pertemuan IMF-World Bank 2018 di Bali pada Oktober lalu.Â
Berbicara selama sesi panelis dengan tema: "Empowering Women in the Workplace" Direktur IMF, Christine Lagarde, menambahkan pemaparannya:
"Secara global, 11 persen atau 26 juta perempuan berisiko kehilangan pekerjaan mereka karena kemajuan teknologi komputer, sementara hanya empat persen dari populasi laki-laki yang menghadapi risiko yang sama," demikian seperti dikutip dari situs surat kabar Nigeria, This Day Live (10/10/2018).
Menurut Lagarde, pekerja perempuan yang berpendidikan lebih rendah dan lebih tua, berusia 40 tahun ke atas, serta mereka yang memiliki keterampilan rendah, atau, bekerja di sektor pelayanan dan penjualan, secara tidak proporsional akan terkena otomatisasi.
"Secara global, kami menemukan bahwa sekitar 180 juta pekerjaan yang digeluti perempuan berada pada risiko tinggi untuk tergantikan oleh teknologi," lanjut Lagarde.
Oleh karena itu, Lagarde mengimbau perlunya kebijakan untuk memberdayakan perempuan dengan keterampilan yang dibutuhkan, menutup kesenjangan gender dalam posisi kepemimpinan dan menjembatani kesenjangan gender digital yang dapat memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam pekerjaan, agar dapat menguntungkan perempuan," kata direktur IMF itu.
Advertisement