Sukses

Kisah Menteri Jonan Saat Pimpin KAI

Menteri ESDM, Ignasius Jonan menuturkan, pengalaman di KAI membuktikan kalau seseorang mampu dan bisa beri layanan yang baik.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan menceritakan ketika dirinya menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI pada 2009-2014.

Jonan mengatakan, saat itu banyak pihak justru meragukan dirinya untuk menangani persoalan yang ada di sektor kereta api.

"Waktu saya ditugaskan di kereta api, semua teman-teman saya bilang 'ini amat sulit dibenahi, karena 80 persen pegawai tetapnya aparatur negara, ada yang sipil dan non'. Saya bilang, sudah kita coba saja," kata Jonan saat menjadi pembicara dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Layanan Umum, di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (26/2/2019).

Jonan mengakui pada saat itu, dari 24.600 ribu pegawai di PT KAI sebanyak 9.600 atau 35 persennya hanya bermodalkan ijazah Sekolah Dasar (SD). Sedangkan 6.300 lainnya atau sebesar 20 persen berijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Kemudian, yang memiliki gelar sarjana hanya mencapai 86 orang saja, termasuk Jonan. Menurut Jonan, presentasi ini pun berbanding lurus dibandingkan dengan jumlah mayoritas di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang rata-rata kebanyakan lulusan sarjana.

"Kalau di Kemenkeu yang bukan sarjana berapa Bu? 5 persen? Saya kebagian SD 35 persen, SMP 20 persen bisa bubar saya," ujar Jonan sembari tersenyum.

Meski demikian, Ignasius Jonan berpandangan tingkat pendidikan tidak semestinya menjadi tolak ukur keberhasilan suatu perusahaan. Terlebih, bagi dia adalah bagaimana kinerja dari bawahan-bawahannya ketika itu mampu menunjukkan hal positif.

"Pengalaman di kereta api menurut saya ini membuktikan bahwa kita bisa. Di KAI, 60 persen lulusan SD dan SMP itu bisa berubah dan layanan semakin bagus," ujar dia.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Investasi LRT Jabodebek Bengkak, KAI Butuh Tambahan PMN

Sebelumnya, proyek LRT Jabodebek dipastikan mundur. Rencana awal, proyek moda transportasi massal ini ditargetkan mulai berjalan pada semester II 2019. Namun karena ada beberapa hambatan diperkirakan proyek tersebut baru bisa berjalan pada Maret 2021.

Mundurnya pengerjaan proyek ini tidak terlepas dari persoalan pembebasan lahan. Bukan pembebasan lahan jalur LRT melainkan pembebasan lahan di Bekasi yang rencananya dijadikan depo LRT.

"Dengan mundurnya proyek LRT Jabodebek ini yang semula di semester II 2019 bisa operasi ini mundurnya sampai Maret 2021, maka berpotensi timbul cost overrun. Ini yang akan tanggung siapa. KAI mendapat penugasan pemerintah jadi ini bukan proyek KAI. Jadi penyertaan modal negara (PMN) dibutuhkan untuk itu," ungkap Direkur Keuangan KAI Didiek Hartyanto saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa 26 Februari 2019.

Ia menuturkan, untuk proyek LRT Jabodebek ini sudah dikucurkan PMN total Rp 7,6 triliun. Hanya saja, dana tersebut sudah digunakan untuk pembayaran investasi awal ke PT Adhi Karya Tbk dan PT INKA (Persero).

Namun demikian, saat ini Adhi Karya dan INKA tengah berencana melakukan penagihan tahap ke II kepada KAI selaku investor untuk pengerjaan proyek LRT Jabodebek.

"Kalau mereka sudah melakukan penagihan, otomatis kita akan gunakan dana perbankan, otomatis bunga akan jalan," tegas dia.

Namun demikian, pihaknya bersama dengan Adhi Karya dan juga INKA tengah berdiskusi untuk mencari jalan keluar terbaik. "Kalau ini mundur, ya mungkin bisa nagihnya pelan-pelan, supaya dampak ke cost tambahan tidam terlalu besar," pungkasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Â