Liputan6.com, Washington D.C. - Survei tahunan Gallup mencatat kenaikan pandangan negatif rakyat Amerika Serikat (AS) terhadap ekonomi China. Persentase orang AS yang menilai ekonomi China sebagai ancaman naik 5 persen.
Dilaporkan South China Morning Post, survei yang diambil pada Februari lalu menunjukkan 46 persen rakyat AS menilah ekonomi China sebagai "ancaman kritis". Angka itu naik dari survei antara tahun 2015 dan 2018 yang di kisaran 40 dan 41 persen.
Advertisement
Baca Juga
Gallup menyebut ini adalah efek dari "setahun meningkatnya perselisihan dagang antara dua negara". Ada pula efek Presiden Donald Trump yang kerap menuduh China memanipulasi mata uang serta mengambil untung dari negaranya.
Meski demikian, angka tertinggi ada di tahun 2013 dan 2014 ketika 52 persen orang AS menganggap ekonomi China sebagai ancaman. Ketika itu, ekonomi China memang sedang berekspansi secara cepat.
Secara keseluruhan sudut pandang AS terhadap China berada di titik nadir sejak Gallup melakukan survei tahunan pada tujuh tahun lalu. Kini, hanya 41 persen orang AS yang memandang positif China, turun 12 poin dari tahun lalu.
Perang dagang antara AS dan China sedang masuk tahap negosiasi. Presiden Trump menyebut proses berjalan baik dan berhenti menaikkan tarif, dan China sudah kembali membeli produk kedelai AS.
Negara lain yang dipandang lebih negatif daripada China oleh warga AS adalah Venezuela, Rusia, Iran, dan Korea Utara. Sementara, negara sekutu AS seperti Kanada, Inggris, Jepang, dan Jerman dipandang lebih positif.
Ada Perang Dagang, Ekonomi Indonesia Lebih Aman dibanding Singapura
Perang dagang yang sedang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China saat ini membuat perekonomian dunia bergejolak. Tidak hanya perekonomian dua negara ini saja, namun ternyata Indonesia pun juga terkena imbasnya.
Hal ini diakui oleh M Chatib Basri, Menteri Keuangan pada masa kabinet Indonesia Bersatu jilid II pada 2013-2014, yang saat ini menjabat sebagai Senior Partner & Co Founder Creco Consulting saat diskusi bidang ekonomi yang diselenggarakan oleh KSEI di Jakarta, Kamis, 14 Maret 2019.
“Negara yang paling berdampak signifikan dari trade war ini tentunya China, dan kalau China kena maka Indonesia maka akan kena juga, namun yang jadi permasalahannya seberapa besarkah dampaknya?” Ujar Chatib di Jakarta.
Dia menilai Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadinya perang dagang yang terjadi karena dibandingkan dengan Singapura, negara ini masih terbilang aman.
“Jadi total trade Indonesia terhadap GDP hanya 32 persen, sementara Singapura mencapai 200 persen karena tidak heran kalau Singapura orang-orangnya sangat khawatir akan trade war ini,” jelasnya.
“Begitu ekonomi globalnya collapse maka ekonomi Singapura pasti collapse karena 200 persen dari ekonomi Singapura itu dari trade,” tambah dia.
Tidak hanya itu saja, Chatib pun menambahkan beberapa sektor ekpor Indonesia yang pasti akan terkena dampak dari perang dagang.
Sebanyak 29 persen dari barang yang Indonesia ekspor ke China merupakan intermediate goods yang digunakan untuk mengekspor barang final, dan 40 persen dari ekspor Indonesia ke China adalah coal, kelapa sawit. Untuk itu dua sektor ini lah yang akan berdampak selama perang dagang. “Jadi kalau China slowdown akan ada tekanan pada sektor coal dan kelapa sawit,” tandasnya.
Chatib pun menambahkan bahwa terganggunya dua sektor ini akan berdampak pada harga saham di Indonesia di mana beberapa emiten yang berkaitan pada sektor ini juga akan terasakan dampaknya.
Advertisement