Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan atau 7 day reverse repo rate di level 6 persen.
Hal ini juga untuk merespons kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve yang juga pertahankan suku bunga acuan.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, sesuai harapan pelaku pasar, the Federal Reserve mempertahankan suku bunga acuannya pada Federal Open Market Committee (FOMC) Maret 2019.
Advertisement
Baca Juga
Ini mempertimbangkan ketatnya pasar keuangan AS dan harapan perlambatan ekonomi global yang meliputi berlanjutnya perlambatan ekonomi China dan Eropa.
Pertumbuhan ekonomi AS pun diperkirakan cenderung melambat ke level 2,5 persen pada 2019 melambat dari tahun lalu yang tercatat 3,1 persen.
The fed mencermati beberapa indikator perlambatan ekonomi dari business fixed investment yang tumbuh dengan laju melambat serta melemahnya penjualan ritel.
Selain keputusan mempertahankan suku bunga acuannya, the Fed juga merilis dot plot yang mengindikasikan harapan anggota FOMC terkait arah suku bunga the Federal Reserve dalam tiga tahun mendatang. Sebagian besar anggota FOMC berpendapata, suku bunga the Fed cenderung tetap pada 2019 dan 2020.
"Merespons keputusan the Fed tersebut, Bank Indonesia akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 6 persen mengingat level suku bunga tersebut konsisten dengan upaya BI untuk menjangkar ekspektasi inflasi,” ujar Josua dalam catatannya, Kamis (21/3/2019).
Ia menambahkan, langkah BI itu juga untuk menjaga daya tarik aset keuangan domestik yang mendorong stabilitas rupiah.
Josua menuturkan, pergerakan rupiah cenderung stabil dalam sebulan juga akan jadi pertimbangan BI.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah menguat sekitar 0,06 persen selama sebulan dari posisi 14.111 per dolar AS pada 1 Maret 2019 menjadi 14.102 per dolar AS pada 21 Maret 2019.
“Faktor rupiah cenderung stabil. Indikasi volatilitas rupiah tidak terlalu tinggi dalam sebulan terakhir. Inflasi pada Februari juga cukup rendah 2,6 persen sehingga terkendali faktor inflasi,” kata dia.
Bank Indonesia masih akan mencermati dan memastikan kalau level suku bunga kebijakan saat ini juga konsisten untuk mengarahkan penurunan defisit transaksi berjalan ke arah lebih sehat.
Josua menuturkan, meski neraca perdagangan alami surplus pada Februari mencapai USD 0,33 miliar tapi hanya sementara.Defisit transaksi berjalan juga masih jadi tantangan ke depan.
Apalagi menurut Josua, harga minyak dunia meningkat. Harga minyak dunia meningkat tersebut imbas OPEC dan mitranya pertahankan untuk komitmen pangkas produksi. Kenaikan harga minyak itu turut pengaruhi faktor defisit.
"BI pertahankan suku bunga acuan karena current account deficit perlu dijaga," kata dia.
Dalam laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia menyebutkan, ada sejumlah sentimen yang dapat mendukung potensi Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan.
Hal itu dari faktor fundamental dalam negeri antara lain inflasi rendah , volatilitas rupiah menurun dan stabil. Ditambah cadangan devisa naik 7,4 persen sejak September. Pada Februari 2019, cadangan devisa Indonesia mencapai USD 123,27 miliar.
Selain itu, rilis penerbitan obligasi pemerintah sudah mencapai 44,3 persen dari target. Aliran dana masuk mencapai USD 4 miliar secara year to date (Ytd).
Sedangkan dari eksternal, negera berkembang antara lain India, Turki, dan China mulai melonggarkan kebijakan moneternya. "Dengan melihat kondisi itu, ada potensi BI menurunkan suku bunga," tulis Ashmore.
Morgan Stanley: Potensi BI Turunkan Suku Bunga pada Kuartal III
Sementara itu, dalam laporan Morgan Stanley yang dirilis pada 15 Maret 2019 menyebutkan kalau ada potensi BI turunkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin pada kuartal III 2019 di tengah normalisasi the Federal Reserve yang tertunda, inflasi rendah dan menyempitnya defisit transaksi berjalan (CAD).
Ada potensi penurunan suku bunga acuan BI itu lantaran Morgan Stanley melihat hubungan pendanaan eksternal Indonesia.
Kebijakan moneter BI dipandang terkait erat dengan the Fed. Namun, Morgan Stanley melihat pelemahan dolar AS dan penundaan normalisasi the Federal Reserve dapat menetapkan tahapan untuk pelonggaran kebijakan BI jika kondisi makro domestik baik.
Morgan Stanley melihat pelonggaran kebijakan akan terjadi lebih awal dalam siklus ini pada kuartal III 2019 karena faktor fundamental lebih baik dibandingkan siklus 2013-2017.
Sebelumnya pada saat taper tantrum pada 2013, BI menaikkan suku bunga sebesar 200 basis poin dan kemudian turun sebesar 175 basis poin pada 2015-2016 karena inflasi turun dan defisit transaksi berjalan menyempit.
Hal ini juga bertepatan dengan sebelum the Fed menaikkan suku bunga dari 0,375 persen pada November 2016 menjadi 1,375 persen pada Desember 2017. Pada siklus itu, BI menungu selama 31 bulan sebelum melonggarkan kebijakan moneternya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement