Sukses

Indonesia dan China Saling Kenakan Tarif Impor Baja

Indonesia menambah bea masuk anti-dumping ke produk bajak China. Ternyata, China juga melakukan hal serupa ke produk Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menerapkan tarif masuk anti-dumping hingga 20 persen ke produk sejumlah negara. Kebijakan ini adalah ekstensi kebijakan sejak tahun 2013.

Dilansir Investing.com, ada tujuh negara yang terkena tarif masuk besi dan baja dari Indonesia, yaitu China, Rusia, India, Taiwan, Thailand, Kazakhstan, dan Belarusia.

Beberapa perusahaan yang kena dampak adalah Angang Steel Co dan Baoshan Iron and Steel Co (China), Severstal (Rusia), dan Essar Steel (India). Kebijakan akan berdampak 14 hari semenjak 19 Maret ketika pemerintah menandatangani regulasi ini.

Indonesia disebut menerapkan bea masuk anti-dumping sebesar 11,9 persen ke sejumlah produk besi dan baja dari China. Indonesia merupakan negara terbesar ke 5 yang mengimpor produk flat steel China dengan jumlah 1,79 juta ton pada tahun lalu.

Analis CRU dari Beijing menyebut angka 20 persen bukanlah angka yang besar pada bea anti-dumping. Ia pun menyebut ini dilakukan negara Asia Tenggara agar lebih mandiri.

"Ini adalah tindak proteksi karena belakangan ini negara-negara Asia Tenggara mencoba lebih independen. Mereka memproduksi produk sendiri ketimbang impor dari China," jelasnya.

China pun telah menerapkan kebijakan anti-dumping sementara pada 23 Maret pada produk stainless steel billet dan hot-rolled stainless steel plate dari Indonesia. Negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa juga terdampak.

Meski demikian, kebijakan baja itu disebut tak terkait dengan kebijakan Indonesia, dan lebih ke masalah internal China terkait impor stainless steel.

2 dari 2 halaman

Produk Baja RI Bebas Bea Masuk Anti Dumping di Malaysia dan Australia

Terhitung sejak 9 Februari 2019, Malaysia tidak lagi mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor produk baja Hot Rolled Coil (HRC) asal Indonesia. Hal ini salah satunya merupakan hasil dari inisiatif yang dilakukan oleh PT Krakatau Steel (Persero).

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan,‎ penghentian BMAD ini merupakan hasil dari tinjauan administrasi Ministry of International Trade and Industry Malaysia (MITI) yang dimulai pada 14 Agustus 2018 lalu.

“BMAD ini berlaku selama lima tahun yaitu dari Februari 2015-Februari 2020. Namun, pada perkembangannya industri dalam negeri Malaysia selaku pemohon BMAD mengalami masalah internal, sehingga menghentikan secara keseluruhan produksi HRC. Praktis sejak 2016 Malaysia tidak lagi mampu memasok HRC ke pasar domestik,” ujar dia di Jakarta, Rabu, 13 Februari 2019.

Oke mengapresiasi inisiatif perusahaan baja Krakatau Steel yang telah mengajukan peninjauan atas pengenaan BMAD HRC asal Indonesia.

“Berhentinya operasional industri dalam negeri Malaysia yang memproduksi subyek BMAD menjadi dasar kuat mengajukan peninjauan kembali pengenaan BMAD,” kata dia.‎

Selain itu, dia juga mengapresiasi pemerintah Malaysia yang telah menunjukkan sikap responsif dalam penyelenggaraan peninjauan.

“Malaysia telah mematuhi peraturan perundang-undangan mereka sendiri. Penghentian operasional perusahaan baja Malaysia Megasteel telah merubah kondisi pasar domestik dan BMAD menjadi tidak relevan lagi karena tidak ada industri dalam negeri Malaysia yang memerlukan perlindungan,” lanjut dia.