Liputan6.com, Jakarta Prevelensi perokok di Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain di regional Asia. Merujuk data World Health Organization pada 2016, prevelensi merokok di sejumlah negara seperti China dan India terus menurun, namun di Indonesia cenderung meningkat.
Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Widya Kartika menyatakan, tingginya prevelensi merokok di Indonesia tidak lepas dari harga rokok yang dinilai sangat rendah. Bila dibangkan di kawasan Asia Tenggara, harga rokok di Indonesia berada pada level terendah.
Advertisement
Baca Juga
Widya mengatakan, salah satu cara untuk mengurangi prevelensi merokok di Indonesia yakni dengan cara menaikan tarif cukai rokok. Dengan kenaikan ini, secara otomatis mengakibatkan harga akan etektif naik, sehingga mengurangi jumlah perokok.
Dari hasil riset penelitian Prakarsa sendiri menyatakan, apabila harga rokok meningkat sebesar 50 persen sampai 100 persen, akan berdampak secara signifikan pada kebiasaan merokok dengan mengurangi prevelensi merokok sekaligus mengurangi jumlah konsumsi rokok per hari.
"12 persen hingga 30 persen perokok berniat untuk berhenti merokok apabila harga rokok mengalami kenaikan masing-masing 50 persen atau 100 persen," ujar dia di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Sementara, pada kelompok perokok yang berniat berhenti merokok, lebih dari setengahnya akan mengurangi jumlah rokok yang dihisap. Semakin tinggi kenaikan harta, semakin banyak perokok yang mengurangi konsumsi rokok.
Sedangkan sejumlah besar perokok yang memilih untuk tetap kerokok akan beralih ke merek rokik yang lebih murah sebagai respon atas kenaikan harga.
"Perlu dicatat bahwa struktur tarif cukau rokok di Indonesia berkontribusi terhadap peralihan konsumsi rokok ke merek yang lebih murah," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber; Merdeka.com
Hasil Riset Ini Sebut Hanya 2 Persen Temuan Rokok Ilegal di 6 Kabupaten
Perkumpulan Prakarsa melaporkan hasil riset penelitan perdagangan rokok ilegal di Indonesia.
Dari hasil survei respresentatif secara nasional terhadap 1.440 perokok di 6 kabupaten berbeda, yakni Malang Lampung Selatan, Tanggerang, Gowa, Bandung, dan Banyumas.
Dari ke-6 kabupaten itu, Prakarsa mengumpulkan 1.201 bungkus rokok untuk diidentifikasi lebih lanjut apakah ilegal atau tidak.
Baca Juga
Peneliti Perkumpulan Prakasa, Rahmanda Muhammad Thaariq mengatakan, dalam studi riset ini, standar kriteria bungkus rokok ilegal dari 1.201 yang di identifikasi yakni tidak adanya pita cukai serta peringatan kesehatan di bungkus rokok tersebut.
Dalam temuan itu, terdapat sebanyak 20 bungkus yang teridentifikasi rokok ilegal, sedangkan sisanya 1.181 legal.
"Penelitian ini menemukan bahwa jumlah rokok ilegal di Indonesia sangat kecil. Yakni kurang dari 2 persen," kata dia dalam paparan Launching Riset Perdagangan Rokok Ilegal, di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Rahmanda mengatakan, dari sedikit responden yang mengkonsumsi rokok ilegal juga ditemukan alasan harga yang rendah menjadi faktor utama kenapa membelinya. Sebanyak 85 beralasan mengenai harga, kemudian 10 persen faktor rasa, dan 5 persennya karena merek.
"20 persen responden juga menyatakan bahwa mereka mengkonsumsi rokok ilegal setidaknya satu kali," kata dia.
Rahmanda menambahkan, dari total responden yang dilakukan Prakarsa, sekitar 43 persen perokok yang telah konsumsi rokok ilegal memiliki penghasilan kurang dari Rp 1,5 juta per bulan.
Sementara, hanya 1,8 persen saja perokok yang mengkonsumsi rokok ilegal memiliki penghasilan lebih dari Rp 5 juta per bulan.
"Walaupun orang-orang dengan pendapatan lebih rendah cenderung untuk merokok rokok ilegal, namun konsumsi rokok ilegal bukanlah perilaku jangka panjang," kata dia.
Â
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Â
Advertisement