Sukses

Walhi Kritisi Ancaman Menko Luhut Soal RI Bakal Keluar dari Komitmen Paris

Di bawah kesepakatan iklim Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tanpa syarat.

Liputan6.com, Jakarta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebutkan pemerintah Indonesia mengancam akan keluar dari Kesepakatan Paris  tidak tepat.
 
Pernyataan tersebut sebagai retaliasi atau langkah perlawanan atas keluarnya delegated act Komisi Uni Eropa (UE) terkait diskriminasi kelapa sawit.
 
Manager Kampanye Walhi, Yuyun Harmono menyebutkan seharusnya pernyataan semacam itu tidak boleh diucapkan sembarangan. Kemenko Maritim seharusnya melakukan diskusi dan komunikasi internal pemerintah sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut.
 
"Reaksi kita dari pernyataan yang menurut kami serampangan, tidak didasarkan pemikiran mendalam dan keliru ketika disampaikan seorang Menko," kata dia dalam acara konferensi pers di kantornya, Jumat (29/3/2019).
 
Seperti diketahui, keterlibatan Indonesia dalam Kesepakatan Paris merupakan komitmen Presiden Joko Widodo  (Jokowi) sebagaimana disampaikan pada COP 21 UNFCCC di Paris, Indonesia akan terlibat dalam upaya menanggulangi perubahan iklim yang merupakan masalah global.
 
Selain bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo, pernyataan Menko Luhut tersebut dinilai melangkahi kewenangan DPR karena tidak atas  persetujuan parlemen. 
 
Di bawah kesepakatan iklim Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tanpa syarat sebesar 29 persen dan secara kondisional sebesar 41 persen di 2030.
 
"Kenapa serampangan? karena tidak dilihat dalam konteks yang mendalam. Karena kita tahu Jokowi di 2015 menyatakan keterlibatananya dalam komitmen Paris dan ini di acara internasional. Berapa kontribusi penurunan emisi yang diniatkan pemeritnah, Jokowi mengatakan Indonesia kontribusi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen bantuan internasional," ujarnya.
 
Yuyun menegaskan, komitmen seorang presiden tidak dapat serta merta dibantah oleh seorang Menteri.  Apalagi, pernyataan tersebut pada dasarnya bukan untuk membela rakyat secara umum melainkan yang terkait dengan kelapa sawit.
 
"Ini jadinya kontradiktif, presiden menyataka terlibat menurunkan emisi tingkat global, Menteri lakukan itu demi kepentinagn perdaganag dan ekonomi dan buka mewakili kepentingan rakyat, tapi kepentingan korporasi  sawit," tegasnya.
 
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
2 dari 2 halaman

Usul Faisal Basri soal Penyelesaian Diskriminasi Sawit oleh UE

Ekonom Senior, Faisal Basri mengkritik langkah pemerintah yang melakukan retaliasi atau perlawanan terhadap kampanye hitam kelapa sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE).

Seperti diketahui, pemerintah telah mengeluarkan ultimatimatum atau ancaman akan boikot terhadap produk-produk Eropa.

Faisal menilai, langkah pemerintah tersebut kurang tepat. Seharusnya, pemerintah introspeksi kenapa UE bisa sampai mendiskriminasi produk kelapa sawit.

"Sebelum ke sini saya diskusi sama pak Laode KPK. Kasarnya begini "ngaca dulu" kenapa UE memboikot sawit kita? Karena banyak lahan tumpang tindih sawit termasuk rarusan ribu hektar yang harusnya hutan. Jadi isunya lingkungan. Ngaca dulu," kata dia saat ditemui di Kawasan SCBD Sudirman, Jakarta, Kamis (28/3/2019).

Selain itu, menurut dia yang lebih pantas menyelesaikan masalah tersebut bukan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan, melainkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Sebab masalah tersebut merupakan hubungan diplomasi antar negara.

"Kalau sudah begitu, serahkan ke ibu menlu karena sudah negosiasi antar negara. Karena kalau ada apa-apa, ini bukan urusan sekadar sawit, urusan diplomasi secara keseluruhan," ujar dia.

Jika yang menangani Menko Luhut, Faisal khawatir suasana justru akan tambah memanas . "Kalau yang diplomasi Luhut, panas terus. Kalau ibu Retno sejuk, perempuan, santun, semua terukur, semua terhitung. Tiap ucapan itu membawa implikasi pada chemistry negosiasi," ujar dia.

Bila semua tuduhan UE terbukti salah, langkah yang paling tepat adalah membawa kasus tersebut ke WTO.

"Kita lihat tuduhan-tuduhan UE itu benar tidak? Kalau tuduhan itu tidak benar, bawa ke WTO begitu. Jadi apa gunanya ngancam-ngancam (boikot produk Eropa)?" ujarnya.

Selain itu, dia menyarankan dalam proses diplomasi sawit tersebut seharusnya satu pintu agar semua pernyataan yang keluar bisa selaras.

"Kalau diplomasi satu pintu, jangan Darmin (Menko Perekonomian) ngomong, Luhut ngomong, pusing. Menlu dia? ini sudah ranah diplomasi, kalau diplomasi masalah satu masalah lain terkait, hubungan baik," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Â