Liputan6.com, Jakarta - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tengah intervensi moneter di negaranya untuk menjaga kestabilan ekonomi jelang pemilihan presiden mendatang.
Berbagai intervensi moneter dilakukan oleh Erdogan. Hal terbaru pengenaan biaya untuk investor yang menukar mata uang asing dengan Lira selama periode tertentu yang melampaui 1.000 persen.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, kebijakan tersebut tidak akan berdampak besar terhadap negara berkembang atau emerging market termasuk Indonesia. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini cukup bagus.Â
Advertisement
"Kita pertumbuhannya bagus. Karena itu (pertumbuhan ekonomi) memang sebetulnya ada masalah di mereka. Kalau kita pertumbuhannya oke, inflasi oke, penurunan kemiskinan turun, gini rasio turun," ujar Darmin di Kantornya, Jakarta, Jumat (29/3/2019).
Baca Juga
Darmin melanjutkan, saat ini yang harus diwaspadai adalah neraca perdagangan Indonesia yang masih defisit. Meski demikian, defisit neraca perdagangan ini belum berdampak besar terhadap neraca pembayaran Indonesia.Â
"Paling-paling kalau mau dilihat neraca perdagangannya masih besar tapi tidak besar amat. Kalau dia besar ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan. Neraca perdagangan sambungannya ke pembayaran. Neraca pembayaran tidak ada persoalan," ujar dia.
Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut menambahkan, pemerintah akan terus mengupayakan perbaikan neraca perdagangan melalui penerimaan sektor jasa sehingga ke depan, neraca pembayaran tidak terganggu.Â
"Kalau Anda bicara neraca pembayaran Anda harus maju dengan transaksi jasa sehingga neraca transaksi berjalan dan transaksi modal serta finansial. Masuknya dana banyak sehingga total neraca pembayarannya malah positif," tandasnya.Â
Â
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Â
Pasar Keuangan Turki Bergejolak
Pasar keuangan Turki alami gejolak sehingga mendorong Turki masuk resesi. Hal itu juga menimbulkan pertanyaan tentang kesehatan pasar negara berkembang ketika ekonomi dunia melambat.
Pemerintah Turki di bawah pimpinan Erdogan menekan bank untuk menghentikan pinjaman lira ke lembaga keuangan luar negeri. Ini memicu biaya pinjaman luar negeri dalam mata uang Turki melonjak lebih dari 1.000 persen dalam semalam.
Bursa saham Turki, Borsa Istanbul 100 alami penurunan 5,7 persen, dan termasuk penurunan terbesar harian sejak Juli 2016. Ini karena analis memperingatkan beberapa investor memilih menjual saham lokal dari pada bertaruh untuk mata uang. Demikian mengutip laman Guardian, Jumat (29/3/2019).
Dengan risiko yang meningkat, imbal hasil obligasi Turki naik pada perdagangan Rabu pekan ini. Sementara default kredit swap yaitu berupa bentuk jaminan atau asuransi bagi investor terhadap obligasi mencapai level 100. Mata uang lira turun 1 persen di awal perdagangan Asia pada Kamis pekan ini.
Ekonom Capital Economics, William Jackson menuturkan, skala pengetatan keuangan mirip selama krisi utang zona euro pada 2011-2012. Bank sentral Turki mengontrol ketat likuiditas.
Penyebaran tekanan pada bank untuk memberi pinjaman lira di luar negeri dimaksudkan untuk menumpas spekulasi mata uang asing. Hal ini semakin sulit untuk pasar negara berkembang karena ekonomi dunia melambat dengan melambatnya ekonomi China dan perang dagang AS-China.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement