Sukses

Inalum Kaji Kenaikan Porsi Kepemilikan di PTBA

Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) saat ini memegang 65% saham PTBA dan sedang mengkaji secara seksama untuk menaikkan kepemilikan di perusahaan tersebut.

Liputan6.com, Jakarta Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) sedang mengkaji untuk menaikkan porsi kepemilikannya di PT Bukit Asam Tbk (PTBA) seiring dengan semakin menjanjikannya prospek bisnis PTBA yang ditopang dengan penjualan batu bara berkalori tinggi, pembayaran dividen yang besar, efisiensi operasional serta rencana hilirisasi.

Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi A. Witular mengungkapkan pada Minggu (31/03/2019) Inalum saat ini memegang 65% saham PTBA dan sedang mengkaji secara seksama untuk menaikkan kepemilikan di perusahaan tersebut.

“Sedang dikaji secara serius. PTBA mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap laba konsolidasi Holding,” kata Rendi, tanpa menjelaskan secara detail skema pembelian saham PTBA tersebut.

Rendi menjelaskan prospek PTBA dalam jangka pendekakan ditopang oleh penjualan batu bara kalori tinggi (high calorie value/HCV) pada tahun 2019 ini sebesar 3,8 juta ton. Angka ini lebih tinggi dari HCV yang telah diproduksi pada tahun 2018 yang masih di bawah 1 juta ton.

PTBA menyasar premium market dalam penjualan batubara kalori tinggi ini. Salah satunya adalah Jepang. Hingga kini, PTBA telah memegang kontrak jual beli batubara kalori tinggi ke pasar Srilanka, Taiwan, Filipina dan Jepang. Di Indonesia cadangan batubara kalori tinggi sendiri sudah tidak banyak lagi dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Selain itu, pembayaran dividen PTBA yang akan dipertahankan pada level 75% dari laba bersih juga menjadi pemicu Inalum untuk menaikkan kepemilikan.

“Inalum akan mengusulkan pembagian dividen PTBA sebesar 75% dalam RUPST (Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan) yang akan diselenggarakan pada 25 April mendatang. Rasio dividen tersebut sama dengan tahun lalu,” ungkap Rendi.

Jika terealisasi, PTBA diperkirakan akan mendistribusikan kepada pemegang sahamnya sekitar Rp3,76 triliun dari laba bersih tahun lalu sebesar Rp 5,02 triliun. Laba tersebut merupakan yang tertinggi sejak perseroan beroperasi di tahun 1981.

Rendi menjelaskan besaran dividen tersebut tidak akan menganggu kebutuhan finansial PTBA untuk kegiatan ekspansi mengingat posisi kas perseroan yang masih sangat mencukupi yaitu sebesar Rp 6,30 triliun per 31 Desember 2018 atau meningkat 77% dibandingkan tahun 2017.

Cash ratio atau cash and equivalent terhadap liabilitas jangka pendek per 31 Desember 2018 mencapai 128%, jauh lebih tinggi daripada cash ratio per 31 Desember 2017 yang hanya 79%.

“Hal ini menunjukkan peningkatan signifikan terhadap likuiditas perseroan dan kemampuannya dalam memenuhi kewajiban jangka pendek,” tutur Rendi.

Terkait dengan upaya efisiensi biaya operasional, PTBA akan diuntungkan dengan berbagai pola sinergi antar anggota Holding dan antar BUMN. Salah satu contohnya baru-baru ini adalah kontrak pengadaan bahan bakar minyak (BBM) dengan PT Pertamina (Persero) melalui skema satu harga untuk seluruh anggota Holding.

“Dari sinergi pengadaan BBM saja setiap anggota Holding bisa berhemat puluhan miliar,” tutur Rendi. Sinergi lain yang saat ini sedang dijajaki termasuk upaya untuk meningkatkan daya tawar untuk mendapatkan bunga deposito perbankan yang kompetitf. Saat ini Inalum memiliki kas dan setara kas konsolidasi sebesar Rp 22 triliun.

Terkait dengan prospek jangka panjang PTBA, Inalum memastikan transformasi bisnis perseroan ke sektor hilirisasi akan berjalan sesuai dengan rencana sehingga pertumbuhan pendapatan dan laba tidak lagi bergantung pada penjualan batubara.

Pada tahun ini PTBA sudah memulai tahapan konstruksi PLTU Mulut Tambang Sumsel-8 dengan kapasitas 2 x 620 MW yang rencananya akan mulai beroperasi di tahun 2022. Proyek ini merupakan PLTU mulut tambang terbesar di Indonesia.

PTBA bersama Pertamina juga akan memulai pengembangan fasilitas gasifikasi batubara yang dapat menghasilkan synthetical gas (syngas) hingga Dimethyl Ether (DME) yang bisa mensubstitusi Liquified Petroleum Gas (LPG) rumah tangga. Fasilitas gasifikasi tersebut diharapkan dapat berproduksi di 2023.

 

(*)