Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Indonesia serius dengan ancaman keluar dari 'Paris Agreement' alias Kesepakatan Paris jika kampanye hitam terhadap crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit Indonesia masih dilakukan oleh Uni Eropa.
"Kita melihat kalau ini masih berlanjut kita mungkin pergi ke European Court, kalau masih ke WTO. Opsi yang lain kalau menyangkut sovereignity kita, kita akan pertimbangkan," kata dia, dalam acara Coffee Morning, di Kantornya, Jakarta, Senin (8/4/2019).
"Keluar dari Paris Agreement kenapa tidak. Amerika saja bisa kok. Brazil saja bisa. Kenapa kita enggak bisa," lanjut dia.
Advertisement
Baca Juga
Dia menegaskan, Indonesia tentu sangat menghargai perjanjian-perjanjian internasional seperti Paris Agreement atau Kesepakatan Paris. Namun, kepentingan nasional tetap harus diutamakan.
"Kita setuju semua itu, kita juga menghormati, tapi kalau kau enggak hormati rakyat kita, saya juga mau tanya apa yang kita dapatkan dari climate change. Dia bilang karbon, karbon mana yang kita dapat. Jujur dong," tegas dia.
"Jadi biar LSM-LSM itu tanya nuraninya sendiri apa yang sudah kita dapat dari itu semua dan apa yang kita hilang. Rakyat kita 20 juta akan tertimpa. Jadi kita mesti lihat nasional interest kita at the end kita akan lihat national interest kita. Ndak ada suka tidak suka. Jadi kalau kau rusak rakyat kita," imbuh Luhut.
Dia mengatakan, tak hanya Indonesia yang akan melawan kampanye negatif terhadap CPO. Kolombia, salah negara produsen CPO terbesar di dunia pun, kata Luhut Binsar Pandjaitan, tak akan tinggal diam.
"Yang paling banyak hutannya sekarang Indonesia, Brazil, sama Kolombia. Kolombia punya hutan juga besar. Saya bicara sama sama Menterinya, dia bilang kalau kita terlalu ditekan-tekan, kita enggak mau juga. Dan ini semua negara berkembang yang kena," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Walhi Kritisi Ancaman Menko Luhut soal RI Bakal Keluar dari Komitmen Paris
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebutkan pemerintah Indonesia mengancam akan keluar dari Kesepakatan Paris tidak tepat.
Pernyataan tersebut sebagai retaliasi atau langkah perlawanan atas keluarnya delegated actKomisi Uni Eropa (UE) terkait diskriminasi kelapa sawit.
Manager Kampanye Walhi, Yuyun Harmono menyebutkan seharusnya pernyataan semacam itu tidak boleh diucapkan sembarangan. Kemenko Maritim seharusnya melakukan diskusi dan komunikasi internal pemerintah sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut.
"Reaksi kita dari pernyataan yang menurut kami serampangan, tidak didasarkan pemikiran mendalam dan keliru ketika disampaikan seorang Menko," kata dia dalam acara konferensi pers di kantornya, Jumat 29 Maret 2019.
Advertisement
Selanjutnya
Seperti diketahui, keterlibatan Indonesia dalam Kesepakatan Paris merupakan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagaimana disampaikan pada COP 21 UNFCCC di Paris, Indonesia akan terlibat dalam upaya menanggulangi perubahan iklim yang merupakan masalah global.
Selain bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo, pernyataan Menko Luhut tersebut dinilai melangkahi kewenangan DPR karena tidak atas persetujuan parlemen.
Di bawah kesepakatan iklim Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tanpa syarat sebesar 29 persen dan secara kondisional sebesar 41 persen di 2030.
"Kenapa serampangan? karena tidak dilihat dalam konteks yang mendalam. Karena kita tahu Jokowi di 2015 menyatakan keterlibatananya dalam komitmen Paris dan ini di acara internasional. Berapa kontribusi penurunan emisi yang diniatkan pemeritnah, Jokowi mengatakan Indonesia kontribusi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen bantuan internasional," ujarnya.
Yuyun menegaskan, komitmen seorang presiden tidak dapat serta merta dibantah oleh seorang Menteri. Apalagi, pernyataan tersebut pada dasarnya bukan untuk membela rakyat secara umum melainkan yang terkait dengan kelapa sawit.
"Ini jadinya kontradiktif, presiden menyataka terlibat menurunkan emisi tingkat global, Menteri lakukan itu demi kepentinagn perdaganag dan ekonomi dan buka mewakili kepentingan rakyat, tapi kepentingan korporasi sawit," tegasnya.