Sukses

Jadi Tuan Rumah ABAC II, Indonesia Diharapkan Menengahi Perang Dagang

Pada pertemuan ABAC II ini akan dibahas isu-isu mengenai ekonomi regional, kesejahteraan pembangunan, kewirausahaan, keuangan hingga ekonomi digital.

Liputan6.com, Jakarta - Meskipun Indonesia tengah sibuk dengan persiapan pemilu, tetapi nampaknya ini tidak menjadi halangan bagi Indonesia untuk menjadi salah satu tuan rumah dalam penyelenggaraan pertemuan tahunan APEC Business Advisory Council atau ABAC

Adapun pertemuan ABAC tersebut kedua kalinya diselenggarakan pada 23-26 April 2019 di Jakarta. 

Pertemuan yang akan dihadiri oleh para pemimpin bisnis dunia ini akan dijadikan wadah bagi mereka untuk saling bertukar pikiran guna menjaga stabilitas ekonomi dunia yang tengah melambat. 

Adapun tema utama yang akan diangkat oleh ABAC Indonesia kali ini yaitu, "Mendorong Ekonomi Inklusif di Kawasan Asia Pasifik".

Terpilihnya Indonesia menjadi salah satu tuan rumah konferensi ABAC bukanlah tanpa alasan. Ini karena stabilnya ekonomi Indonesia di tengah melemahnya perekonomian global salah satu perang dagang AS dan China.

"Karena Indonesia sebagai salah satu negara ke-3 terbesar di APEC diharapkan dapat menengahi perang dagang yang saat ini terjadi," ujar Chairman ABAC Indonesia Anindya N Bakrie, di Jakarta, Selasa (9/4/2019).

Hal ini yang menjadi alasan lain mengapa Indonesia tetap mau menjadi salah satu tuan rumah pertemuan ABAC sebelum APEC yang akan digelar pada November 2019.

Pada pertemuan ABAC II ini akan dibahas isu-isu mengenai ekonomi regional, kesejahteraan pembangunan, kewirausahaan, keuangan hingga ekonomi digital. 

Anindya juga mengimbau para masyrakat Indonesia untuk dapat mendukung suksesnya acara ini yang akan berdampak baik bagi nama bangsa Indonesia di perekonomian dunia di masa yang akan datang.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

ADB Prediksi Ekonomi Asia Melambat Imbas Perang Dagang

Sebelumnya, Asian Development Bank (ADB) prediksi pertumbuhan ekonomi Asia melambat pada 2019. Kemudian kehilangan momentum pada 2020.

Hal ini karena risiko ekonomi meningkat seiring perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta ketidakpastian Brexit.

ADB prediksi ekonomi Asia tumbuh 5,7 persen pada 2019. Pertumbuhan ekonomi itu melambat dari proyeksi 5,9 persen pada 2018 dan pertumbuhan 6,2 persen pada 2017.

Perkiraan 2019 itu mewakili sedikit penurunan dari perkiraan Desember sebesar 5,8 persen. Pada 2020, ekonomi Asia diperkirakan tumbuh 5,6 persen. Pertumbuhan ekonomi itu paling lambat sejak 2001.

"Perang dagang yang terjadi antara China dan AS dapat merusak investasi dan pertumbuhan di negara berkembang Asia," ujar Ekonom ADB, Yasuyuki Sawada, seperti dikutip dari laman the Australian.com, Kamis 4 April 2019.

ADB juga melihat ketidakpastian yang berasal dari kebijakan fiskal AS dan Brexit sebagai risiko ke depan. Sentimen itu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi negara maju dan prospek ekonomi China.

"Meski pun kenaikan tiba-tiba dalam suku bunga AS tampaknya telah berhenti untuk saat ini. Namun pembuat kebijakan harus tetap waspada di masa yang tidak pasti ini," ujar Sawada.

ADB juga proyeksikan, ekonomi China akan tumbuh 6,3 persen pada 2019. Proyeksi itu tidak berubah dari proyeksi Desember. Akan tetapi, ekonomi China lebih lambat dari ekspansi negara itu 6,6 persen pada 2018. Kemudian ekonomi China akan tumbuh 6,1 persen pada 2020.

Ekonomi China akan didukung dari pemangkasan pajak dan peningkatan pengeluaran negara untuk infrastruktur.

Di luar risiko perdagangan, ADB mengatakan, pertumbuhan China juga dibayangi pembatasan shadow banking, yang diperkirakan membatasi ekspansi kredit.

"Saya harus menekankan walaupun pemerintah ingin menstabilkan pertumbuhan, pemerintah tidak ingin menaikkan tingkat pertumbuhan seperti tahun-tahun sebelumnya ketika Anda melihat paket stimulus besar, seperti pada periode 2008-2009," ujar Ekonom Senior ADB, Jian Zhuang.

Bank-bank China dinilai mungkin masih tetap enggan untuk menurunkan biaya pinjaman bagi sebagian perusahaan. Ini karena kekhawatiran akan meningkatnya risiko gagal bayar korporasi seiring ekonomi yang melambat.

"Bank sentral dapat mengambil tindakan lebih lanjut, seperti memangkas suku bunga pinjaman satu tahun dan suku bunga deposit," tulis ADB.

China telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 6 persen-6,5 persen pada 2019.

 

3 dari 3 halaman

Asia Selatan dan Tenggara

Berdasarkan wilayah, ekonomi Asia Selatan akan tetap tumbuh tercepat di Asia Pasifik. ADB perkirakan pertumbuhan 6,8 persen pada 2019.

Angka ini lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 7,1 persen. Kemudian proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 sebesar 6,9 persen.

Dari perkiraan pertumbuhan 7 persen pada 2018, ekonomi India diproyeksikan tumbuh lebih cepat yaitu sebesar 7,2 persen pada 2019 dan 7,3 persen pada 2020. Ini karena suku bunga lebih rendah dan dukungan terhadap petani seiring meningkatnya permintaan domestik.

Sedangkan pertumbuhan di Asia Tenggara pada 2019 dipangkas menjadi 4,9 persen pada 2019 dari perkiraan sebelumnya 5,1 persen.

Ini karena ADB melihat Malaysia, Filipina, dan Thailand tumbuh melambat dari yang diperkirakan sebelumnya. Ekonomi Asia Tenggara diperkirakan tumbuh lima persen pada 2020.

Selain itu, harga komoditas yang stabil, ADB turunkan perkiraan rata-rata inflasi untuk negara berkembang di Asia menjadi 2,5 persen pada 2019 dari perkiraan sebelumnya 2,7 persen. Kemudian pada 2020 diproyeksikan 2,5 persen.