Liputan6.com, Jakarta Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah memprediksi Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunga acuan sepanjang 2019. Hal ini disebabkan kebijakan bank sentral Amerika serikat atau The Federal Reserve yang lebih dovish atau longgar tahun ini.
"Saya meyakini, The Fed belum menurunkan suku bunga dalam satu tahun ini. Kalau saja terjadi (penurunan suku bunga The Fed) BI kemungkinan masih akan menahan suku bunga, meski BI sudah menunjukkan kebijakan lebih longgar," ujar Piter di Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Piter melanjutkan, ekonomi global saat ini sedang dalam kondisi melambat. Artinya, tidak terlalu banyak tekanan seperti yang terjadi pada tahun lalu. Di mana perang dagang dan penguatan moneter AS berlangsung secara bersamaan.
"Kami perkirakan pada 2019, ini tidak akan banyak berubah. Dengan catatan, kondisi global masih seperti sekarang ini, yakni terjadi perlambatan ekonomi global dan kecenderungan The Fed masih dovish. Saya prediksi tidak akan turunkan suku bunga meski ada tekanan dari AS demi perbaiki krisis atau resesi di sana," jelas dia.
Sementara itu ekonomi dalam negeri seperti Rupiah, dinilai masih cukup kuat untuk melawan guncangan yang akan ada ke depan. Hal ini karena Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga lebih besar dibanding The Fed beberapa waktu lalu yang membuat pasar keuangan Indonesia lebih menarik.
"Di sini ada keuntungan bagi Indonesia adalah kita sudah menaikkan suku bunga yang lebih besar dengan The Fed. Itu jadi daya tarik, makanya sejak akhir 2018 sampai saat ini, kita alami aliran modal asing lumayan besar dan itu menyebabkan Rupiah kita menguat cukup drastis dari di atas Rp 15.000 sampai turun dan mencapai Rp 14.500 yang sekarang ini kisaran Rp 14.100-14.300," tandasnya.
Â
Survei BI: Optimisme Konsumen Tetap Terjaga
Optimisme konsumen tetap terjaga pada Maret 2019, tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang tetap berada pada tingkat optimistis yaitu 124,5, meski sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya yang ada di angka 125,1.
Dikutip dari keterangan tertulis BI, Jumat (5/4/2019), optimisme konsumen yang tetap terjaga itu ditopang oleh persepsi konsumen terhadap kondisi saat ini yang tetap kuat dan ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi pada enam bulan mendatang yang tetap tinggi.
Baca Juga
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) ditopang oleh persepsi terhadap penghasilan saat ini yang membaik. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) tetap tinggi didukung oleh perkiraan konsumen terhadap kegiatan usaha pada enam bulan mendatang akan membaik.
Meskipun tetap pada level optimistis, IKE dan IEK lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Hasil survei juga mengindikasikan bahwa tekanan kenaikan harga diperkirakan meningkat dalam tiga bulan mendatang atau Juni 2019, terutama dipengaruhi oleh peningkatan permintaan barang dan jasa saat periode Idul Fitri.
Sementara itu, tekanan harga dalam enam bulan mendatang yakni September 2019 diperkirakan menurun didukung oleh persepsi konsumen terhadap terjaganya pasokan barang konsumsi rumah tangga dan semakin lancarnya distribusi barang.
Â
Advertisement
Ekonomi Indonesia Tahan Goncangan
Gejolak yang terjadi di Perekonomian dunia diprediksi masih masih akan berlanjut. Negara-negara berkembang alias emerging markets, seperti Indonesia harus mampu menjaga kestabilan ekonomi.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengungkapkan, situasi global saat ini yang cukup mengganggu emerging markets adalah normalisasi kebijakan suku bunga bank sentral AS dan perang dagang. Meskipun demikian, tekanan tersebut tidak sebesar tahun lalu.
"Jadi bagi negara-negara emerging market yang pengelolaan ekonomi makronya bagus, salah satunya seperti Indonesia, prudent lah, dengan inflasi yg rendah, dengan CAD yang terkendali," ungkapnya seperti ditulis pada Rabu (3/4/2019).Â
BACA JUGA
Mirza mengatakan bahwa defisit transaksi berjalan tengah diusahakan untuk diturunkan ke kisaran 2,5 persen. Selain itu, defisit APBN bisa dijaga di bawah 2 persen. Hal ini menjadi modal bagi investor untuk melirik Indonesia untuk berinvestasi.
"Pertumbuhan kredit yang bahkan sudah bisa recover, kan yoy sudah mendekati 12 persen, sehingga investor sudah bisa membedakan antara negara yang memang secara global iklimnya mendukung emerging market," jelasnya.
"Jadi emerging market yang ekonomi makronya bagus ya kondisi pasar keuangannya diuntungkan. sedangkan kondisi emerging market yang kondisi makro dan politiknya tidak bagus ya, salah satunya Turki. Jadi investor yang di emerging market sudah bisa membedakan," imbuhnya.