Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun masih berada di kisaran lima persen. Hal tersebut terjadi karena sebagian potensi yang dimiliki belum sepenuhnya dimaksimalkan. Salah satunya di sektor industri manufaktur.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal mengatakan, industri manufaktur harus menjadi prioritas. Jika tidak diprioritaskan, Indonesia akan sama seperti negara lain yang terjebak di negara pendapatan menengah selama 50 tahun.
"Kita perlu kembali lagi membangun industri manufaktur supaya pertumbuhan ekonomi kita bisa paling tidak 7 persen untuk bisa mengejar. Karena kita kalau melihat beberapa contoh kasus negara berkembang lain mereka banyak berada di kelompok menengah lebih dari 50 tahun, setengah abad," ujar dia di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Faisal melanjutkan, dalam masa pemilihan presiden ini seharusnya kedua pasangan calon harus menyampaikan strategi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi semakin tinggi melalui industri. Sebab, sudah 10 tahun belakangan terjadi deindustrialisasi di Indonesia.
"Harus ada perubahan dan salah satunya mendorong industri manufaktur yang selama lebih dari 10 tahun ini sudah gejala deindustrialisasi dini. Itu yang belum pernah diangkat, jadi dalam 5 tahun ke depan itu harusnya jadi salah satu agenda utama untuk siapapun yang nanti memimpin," tutur dia.
Selain industri manufaktur, pemimpin nantinya juga harus fokus memanfaatkan teknologi digital ekonomi untuk mendorong produksi dalam negeri. Teknologi digital juga diperlukan untuk memasarkan produk dalam negeri ke negara lain.
"Tentu saja bagaimana manfaatkan pertumbuhan digital ekonomi. Saya pikir bagaimana manfaatkan pertumbuhan ekonomi digital untuk mendorong produksi di dalam negeri, karena sekarang masih cenderung dimanfaatkan pasarnya saja," ujar dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Ekonomi RI Bakal Tumbuh 5,1 Persen pada Kuartal I 2019
Sebelumnya, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah prediksi ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5 hingga 5,1 persen pada kuartal I 2019. Hal ini karena melambatnya penjualan ritel sejak awal tahun.
"Paling 5,1 persen perkiraan saya. Karena memang triwulan-I ini inflasi stabil. Inflasi inti juga tidak mengalami kenaikan yang cukup dan data retail juga tidak ada lonjakan. Artinya kita tidak bisa berharap ekonomi kita mengalami lonjakan," ujar dia di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa, 9 April 2019.
Terkait perang dagang AS dan China yang mulai melambat, Piter melihat, belum memberi pengaruh besar kepada ekonomi Indonesia. Indonesia justru saat ini dinilai perlu membenahi investasi dan konsumsi dalam negeri.
"Sebenarnya ekonomi kita tidak bisa dikatakan sangat bergantung pada eksternal karena ada investasi dan konsumsi. Jadi bukan ekspor. Jadi perlambatan global tidak berdampak langsung kepada ekonomi kita," kata dia.
Piter melanjutkan, pemerintah juga perlu menjaga kepercayaan investor agar tidak ragu terhadap pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada 17 April mendatang. Sebab, saat ini hingga pemilu selesai akan banyak investor yang menahan diri menanamkan dananya.
"Triwulan II juga masih sama dengan triwulan I karena terkait pemilu. Karena investor pasti wait and see. Dia akan melihat siapa yang menang dan programnya seperti apa baru dia akan mengambil keputusan," tutur dia.
Advertisement
BI: Ekonomi Indonesia Tahan Goncangan
Sebelumnya, gejolak yang terjadi di Perekonomian dunia diprediksi masih masih akan berlanjut. Negara-negara berkembang alias emerging markets, seperti Indonesia harus mampu menjaga kestabilan ekonomi.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengungkapkan, situasi global saat ini yang cukup mengganggu emerging markets adalah normalisasi kebijakan suku bunga bank sentral AS dan perang dagang. Meskipun demikian, tekanan tersebut tidak sebesar tahun lalu.
"Jadi bagi negara-negara emerging market yang pengelolaan ekonomi makronya bagus, salah satunya seperti Indonesia, prudent lah, dengan inflasi yg rendah, dengan CAD yang terkendali," ungkapnya seperti ditulis pada Rabu 3 April 2019.
Mirza mengatakan bahwa defisit transaksi berjalan tengah diusahakan untuk diturunkan ke kisaran 2,5 persen. Selain itu, defisit APBN bisa dijaga di bawah 2 persen. Hal ini menjadi modal bagi investor untuk melirik Indonesia untuk berinvestasi.
"Pertumbuhan kredit yang bahkan sudah bisa recover, kan yoy sudah mendekati 12 persen, sehingga investor sudah bisa membedakan antara negara yang memang secara global iklimnya mendukung emerging market," jelasnya.
"Jadi emerging market yang ekonomi makronya bagus ya kondisi pasar keuangannya diuntungkan. sedangkan kondisi emerging market yang kondisi makro dan politiknya tidak bagus ya, salah satunya Turki. Jadi investor yang di emerging market sudah bisa membedakan," imbuhnya.
Dia mengatakan ada beberapa hal yang diperhatikan BI dalam menentukan kebijakan moneternya. Pertama, adalah suku bunga bank sentral AS. "Satu, Fed fund rate, yang selama ini sekarang sudah melandai, sekarang porbability di-cut di 2020 sudah 70 persen. Dari sisi Fed fund rate mendukung EM," ujarnya.
Hal kedua yang diperhatikan BI adalah kinerja inflasi. Inflasi dalam periode 2015 hingga 2019, diupayakan agar terjaga stabil dan rendah di kisaran 3 persen.
"Ketiga, CAD. Jadi ya BI ya kita perhatikan CAD dan kita mau memastikan CAD itu menuju ke 2,5 persen PDB," tandasnya.