Liputan6.com, Jakarta Petani tembakau menolak usulan penggabungan volume produksi rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Hal ini dinilai kurang tepat, sebab keduanya merupakan produk berbeda.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji mengatakan, petani tembakau menyayangkan adanya usulan tentang penggabungan produksi SPM dan SKM. Usulan tersebut dinilai tidak tepat karena SPM dan SKM merupakan produk hasil tembakau yang berbeda.
“SKM merupakan pengembangan produk Indonesia berlandasan kretek,” kata Agus, di Jakarta, Selasa (19/4/2019).
Advertisement
Dia menjelaskan, produk SKM sebagai penopang penyerap bahan baku lokal baik tembakau ataupun cengkeh. Penggabungan SPM dan SKM akan mematikan budidaya tembakau yang sudah turun menurun.
“Industri harus memperhatikan bagaimana petani lokal tetap bertani secara berkelanjutan tetap menanam tembakau,” tuturnya.
Dia menginginkan, pemerintah harus tetap memisahkan antara SPM dan SKM, baik dari volume produksinya maupun cukai tembakau.
Langkah terobosan yang paling tepat untuk melindungi produk hasil tembakau yang berbasiskan kretek, adalah perbedaan pengenaan cukai bagi produk non kretek harus lebih tinggi dibandingkan dengan produk kretek.
“Pemerintah harus berani tegas untuk membentengi produk kretek,” tegasnya.
Dia mengaku sepakat dan hormat, ketika pemerintah pada 2019 tidak menaikan cukai. Hal ini menjadi langkah baik sebagai bukti nyata keberpihakan terhadap IHT nasional dari hulu sampai hilir.
Namun ini dinilai belum cukup jika proteksi kretek nasional masih lemah, disparitas cukai belum jelas dan pengaturan importasi tembakau belum di lakukan secara tepat.
Selain itu, asosiasi melihat masih ada industri yang belum memenuhi kewajibanya sebagai penyerap bahan baku dengan baik.
“Persoalanya saat ini masih ada industri yang tidak melakukan pembelian di waktu musim panen,” tandasnya
BKF Kaji Penggabungan Batas Produksi Sigaret Kretek dan Putih Mesin
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mengkaji penggabungan batasan produksi sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) untuk mencari struktur tarif ideal.
"Kami akan lihat lagi di tahun ini. Tiap tahun akan kami lihat, makanya kajian dari teman-teman yang menguatkan kami butuhkan,” kata Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal, Nasruddin Djoko Surjono, seperti mengutip Antara, Selasa (2/4/2019).
Peraturan Menteri Keuangan 146/2017 menjabarkan rencana penggabungan jumlah produksi SKM dan SPM, jika diproduksi oleh perusahaan yang sama.
Artinya, setiap pabrikan rokok yang memproduksi rokok jenis SKM dan SPM atau gabungan keduanya dengan jumlah tiga miliar batang, maka perusahaan tersebut wajib membayar tarif cukai tertinggi di setiap jenisnya.
Nasrudin menambahkan, pihaknya akan melakukan kajian mengenai bagaimana idealnya struktur tarif. "Semakin banyak tarif, semakin banyak celah untuk penghindaran pajak (tax avoidance), bukan melanggar tapi menghindar (avoid)," tambah Nasrudin.
Menurut dia, hal itu bertujuan untuk menutup kesempatan perusahaan besar asing memanfaatkan celah batasan produksi dengan membayar tarif cukai lebih rendah.
Kenyataannya sampai saat ini, beberapa pabrikan asing besar masih dapat menikmati cukai murah untuk jenis rokok yang diproduksi, meskipun secara total sudah memproduksi rokok buatan mesin lebih dari tiga miliar batang.
Namun Kementerian Keuangan menunda rencana penggabungan ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan 156/2018.
Tak hanya penggabungan produksi, pemerintah juga menunda kelanjutan kebijakan penyederhanaan layer tarif cukai. Seharusnya, untuk tahun ini, layer tarif cukai menjadi delapan layer.
Nasruddin kembali menegaskan peluang untuk kembali melanjutkan rencana penggabungan batasan produksi SPM dan SKM masih tetap terbuka. Untuk saat ini, pemerintah masih menerima pendapat dari para pelaku usaha.
"Tapi ditunda itu bukan berarti berhenti di situ. Pembahasan ini masih panjang, tapi kan ini eranya demokrasi, jadi perlu pemahaman yang perlu dilakukan," tegasnya.
Peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, sebelumnya berharap pemerintah merealisasikan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM.
Dengan kondisi sekarang ini, Abdillah melanjutkan, banyak pabrikan besar asing yang masih menikmati tarif cukai murah.
"Kalau saya pengusaha rokok SPM, saya produksi 2,99 miliar batang SPM. Walau (tarif cukainya) lebih murah beberapa rupiah saja, tapi kalau dikali 2,99 miliar batang? Yang harusnya disubsidi itu UKM. Industri rokok tidak perlu disubsidi," tegasnya.
Sebelumnya, perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) juga mendorong pemerintah untuk merealisasikan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM karena pabrikan rokok asing besar sampai saat ini masih menikmati tarif cukai murah.
Advertisement