Liputan6.com, Washington D.C. - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengalami defisit anggaran sebesar USD 147 miliar atau Rp 2.081 triliun pada Maret ini (USD 1 = Rp 14.161). Meski besar, tetapi defisit per Maret 2019 turun dari bulan periode sama tahun lalu.
Besar pasak daripada tiang ini terjadi karena pendapatan pemerintah AS bulan Maret ini hanya USD 229 miliar (Rp 3.243 triliun), sementara pengeluaran mencapai USD 376 miliar (Rp 5.324 triliun), demikian laporan MarketWatch.
Advertisement
Baca Juga
Jika dibandingkan dengan Maret tahun lalu, pendapatan pemerintah AS naik 9 persen, sementara pengeluaran turun 10 persen. Turunnya pengeluaran pemerintah memberi efek ke program pertahanan, pendidikan, dan veteran di AS.
Faktor yang ikut menambah pendapatan anggaran pemerintah adalah pajak penghasilan yang naik USD 8 miliar (Rp 113,2 triliun). Sebagai informasi, hukum pajak Partai Republik memberikan potongan pajak bagi keluarga (household) dan korporasi.
Tahun anggaran AS yang dimulai pada bulan September diperkirakan akan defisit hingga USD 897 miliar (Rp 12.703 triliun), itu berdasarkan hitungan Kantor Anggaran Kongres.
Jika estimasi itu benar, maka defisit anggaran AS tahun ini berpotensi naik dari tahun sebelumnya, yakni USD 779 miliar (Rp 11.031 triliun).Â
Kalangan politisi moderat dari Partai Demokrat kerap meminta agar pemerintah mulai menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran anggaran. Akan tetapi, permintaan itu tak mendapat tanggapan dari Presiden Donald Trump dan Partai Republik.
Utang AS Juga Tinggi
Februari lalu dikabarkan bahwa utang ASÂ terus meningkat hingga menyentuh USD 22 triliun atau Rp 309 ribu triliun (asumsi kurs USD 1 = Rp 14.092). Angka itu sudah melewati 100 persen Gross Domestic Product(GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB) negara.
Dilansir CNBC, utang AS pada era Presiden Donald Trump merangkak naik USD 2,06 triliun dari total utang era Presiden Barack Obama, yakni USD 19,9 triliun. Bila dibandingkan lewat rasio utang terhadap GDP, utang AS naik 0,5 persen dari era Obama, yakni dari 103,6 persen menjadi 104,1 persen.
Membandingkan utang pada GDP penting karena mengukur kemampuan pemerintah membayar utang lewat pertumbuhan dan mengukur seberapa besar pertumbuhan yang diciptakan utang.
Kenaikan rasio utang di AS terjadi besar-besaran di era Presiden Obama. Padahal sebelumnya, utang AS di era Presiden Ronald Reagan menyentuh 65,3 persen pada pertengahan 1995, lalu turun di era Presiden Bill Clinton di level 30,9 persen di kuartal II 2001.
Ukuran penting lainnya adalah debt held by the public, atau uang yang dipinjam pada individu, negara bagian, pemerintah daerah, juga bank asing dan pihak lainnya di luar AS.
Rasio utang kategori tersebut terhadap GDP telah naik menjadi 75 persen sebelum Trump menjabat. Di awal Presiden Obama menjabat, rasionya 47,5 persen.
Sebelumnya, ketika utang AS menyentuh USD 20 triliun, Oppenheimerfunds mengingatkan agar tak perlu ada histeria pada nominal utang yang tampak besar. Pasalnya, aset negara AS masih sebesar USD 200 triliun. Salah satunya adalah aset migas senilai USD 128 triliun per tahun 2017.
"Singkatnya, aset dan kekuatan pajak pemerintah AS mengerdilkan utang mereka, yang bahkan belum mendekati solvency (kemampuan bayar utang)," tulis perusahaan pengelola aset global tersebut.
Advertisement
Tak Boleh Diabaikan
Walau kini utang AS belum mengancam perekonomian, keadaan finansial di masa depan dapat mengancam jika tren utang terus meningkat dan melewati level yang tak bisa dikelola pemerintah.
Proyeksi non-partisan dari Kantor Anggaran Kongres mengindikasikan bahwa utang publik akan naik menjadi 90 persen terhadap PDB dalam 10 tahun ke depan.
"Dar situ, levelnya diperkirakan menabrak 150 persen pada 2049, yang mana menurut ahli ekonomi di atas level pengelolaan," tulis CNBC.
Berdasarkan estimasi fiskal di tahun 2019, defisit anggaran di era Trump diprediksi menyentuh USD 1 triliun pada 2022.
Janji pemerintahan Trump, pertumbuhan ekonomi akan menutup utang tambahan dan beban defisit juga belum terealisasi.