Sukses

Eropa Berlakukan Aturan Sawit Mulai Mei 2019

Keputusan tersebut akan berlaku secara otomatis walaupun tidak dibahas dan disetujui oleh seluruh parlemen Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, kampanye negatif kelapa sawit Indonesia oleh Eropa akan diputuskan Mei 2019 oleh parlemen Eropa.

Nantinya, keputusan tersebut akan berlaku secara otomatis walaupun tidak dibahas dan disetujui oleh seluruh parlemen Eropa.

"Regulasi tersebut akan berlaku apabila mendapat persetujuan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa dalam jangka waktu maksimum 2 bulan sejak konsep regulasi tersebut disampaikan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019," ujar Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (12/4/2019).

"Walaupun tidak mendapatkan persetujuan dan dibahas secara langsung, regulasi tersebut juga akan berlaku secara otomatis setelah 2 bulan dari konsep regulasi tersebut diserahkan oleh Komisi Eropa atau Silent Procedure," ia menambahkan. 

Kemungkinan besar prosedur yang telah disampaikan pada Maret lalu yang akan digunakan. Sebab hingga saat ini, kata Darmin, pembahasan regulasi tersebut belum dijadwalkan oleh Parlemen maupun Dewan Eropa.

Usai diberlakukan secara otomatis, selanjutnya, pada 2021 akan terbuka kesempatan untuk dilakukan review terhadap regulasi ini, termasuk metodologi maupun kriteria-kriteria dalam penetapan high-risk dan low-risk ILUC.

Kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II) yang menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) / indirect land-use change (ILUC).

"Metodologi dan hipotesa yang digunakan UE tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit terhadap perusakan hutan tersebut ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta yang ada, dan tanpa dilakukan impact analysis," tandas Darmin.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Industri Kelapa Sawit Terhambat, 19,5 Juta Petani Terkena Dampak

Sebelumnya, Indonesia bersama Malaysia dan Kolombia pada 8-9 April 2019 melakukan joint mission ke Brussel, Belgia sebagai upaya diplomasi kepada Uni Eropa (UE).

Diplomasi ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan industri dan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit. 

Kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II) yang menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) / indirect land-use change (ILUC) (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex).

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, industri kelapa sawit di Indonesia mempekerjakan sebanyak 19,5 juta orang. Jika kampanye negatif oleh Eropa diterapkan,pekerja tersebut berpotensi terganggu atau kehilangan pekerjaan.

"Saudara saudara sekalian, kita menekankan betapa peranan kelapa sawit besar. Industri sawit itu mempekerjakan 19,5 juta orang yang kalau kelapa sawit dihambat, itu pasti terganggu," ujar Darmin di Kantornya, Jakarta, Jumat, 12 April 2019.

Darmin mengatakan, selama ini industri kelapa sawit juga berperan dalam menekan kemiskinan di daerah. Oleh karena itu, pemerintah menganggap kampanye negatif terhadap sawit bukan suatu masalah yang sepele.

"Sawit cukup menolong menurunan tingkat kemiskinan di daerah itu. Kita tunjukkan apa yang disiapkan itu bukan masalah sepele. Buat mereka (Eropa) mungkin sepele karena tidak menghasilkan kelapa sawit," paparnya.

 

 

3 dari 3 halaman

Tiga Hal Jadi Sorotan

Darmin merinci ada tiga hal yang menjadi sorotan pemerintah untuk melindungi sawit Indonesia. Pertama, faktanya kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi (8-10 kali) dan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan vegetable oils lainnya.

"Kedua, dengan pertumbuhan permintaan vegetable oils yang terus bertumbuh, maka apabila phase-out terhadap kelapa sawit dilakukan, maka justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk vegetable oils lainnya," tutur dia.

Ketiga, penggunaan basis awal 2008 sebagai metodologi penghitungan dari ILUC dilakukan tanpa alasan yang kuat. Penetapan 2008-2015 sangat merugikan kelapa sawit dan menguntungkan vegetable oils lainnya.

Sementara kesimpulan yang ditarik dari rangkaian pertemuan di Brussel ini, antara lain pertama terdapat gap pemahaman yang besar terhadap produk kelapa sawit maupun kebijakan pengembangannya. 

"Kedua masifnya kampanye negatif terhadap kelapa sawit menimbulkan persepsi yang salah," ujar dia.

Â