Liputan6.com, Jakarta - Aduan dari korban aplikasi pinjaman online atau fintech kian marak. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memilih dan menggunakan produk atau jasa keuangan.
Deputi Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito menyebutkan masyarakat agar tidak tersesat oleh iklan dan harus lebih detil memperhatikan penawaran yang diberikan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) agar tidak merasa dirugikan di kemudian hari.
Dia mengungkapkan, aduan terbanyak adalah peminjam atau nasabah fintech peer to peer (P2P) lending ilegal, di mana banyak masyarakat yang akhirnya terjerat utang beserta bunganya yang tinggi.
Advertisement
"Misalnya fintech yang korban-korban itu pengaduannya masuk ke tempat saya itu rupanya ada fintech ilegal. Meski sudah ditutup hari ini, besok ada lagi, namanya dunia maya," kata dia di kantornya, Selasa (16/4/2019).
Baca Juga
Proteksi diri sendiri adalah salah satu cara terbaik mecegah dari jerat utang tersebut. Sebab penutupan terhadap fintech ilegal dinilai tidak terlalu ampuh sebab mereka masih bisa membuka aplikasi baru dengan nama berbeda.
Dia mengungkapkan, pernah mendapat aduan kasus sepasang suami istri yang melakukan pinjaman masing-masing di 10 fintech P2P lending yang berbeda. Sang suami meminjam di 10 aplikasi, dan sang istri pun melakukan hal serupa sehingga menyebabkan keluarga tersebut terlilit utang Rp 20 juta dari 20 fintech P2P lending beserta bunganya.
"Mereka masing-masing pinjam di 10 fintech, padahal akhirnya ngadu ke OJK dan LBH bisanya bayar 1 fintech saja," ujarnya.
Dia menyarankan, nasabah sebelum melakukan atau mengajukan pinjaman online harus mengukur kemampuan diri sendiri untuk melunasi utang tersebut ke depannya. Sebab jika melakukan peminjaman di luar kemampuan melunasi maka dapat menyebabkan kondisi terlilit utang dan dikejar debt collector atau penagih utang.
"Harusnya kita juga sebagai konsumen baiknya rumongso (merasa tahu diri), kalau enggak punya duit ya sudah (jangan pinjam banyak-banyak). Kalau bisa hanya bayar Rp 1 juta, kenapa pinjam Rp 20 juta. Jadi dari sisi konsumen harus waspada juga," tutupnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pelaku Fintech Akui Tingginya Standar Kantongi Izin OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong fintech penyedia platform Peer to Peer (P2P) Lending untuk mendaftar diri dan diuji oleh OJK.
Hal ini dilakukan dalam rangka pengawasan. Saat ini sudah ada 99 fintech yang terdaftar di OJK.
CEO dan Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengakui, tidak mudah memperoleh izin dari OJK. Amartha, kata dia, sudah mendaftar sejak 2017. Saat ini menjalani tahap perizinan.
"Yang sekarang sudah dibangun lumayan berat tapi butuh effort untuk bangun infrastruktur yang kuat, yang secure. Kita untuk memenuhi itu butuh waktu 1 tahun," kata dia, ketika ditemui, Jakarta, Rabu (10/4/2019).Â
BACA JUGA
Meskipun demikian, dia mengatakan standar tinggi yang diterapkan OJK memang diperlukan untuk memastikan satu fintech benar-benar sehat dan aman untuk dimanfaatkan jasanya oleh masyarakat.
"Perlu untuk jaga konsumen, agar perusahaan membangun bisnis secara prudent," ujar dia.
"Menurut kita OJK perlu buat standar supaya industri tumbuh secara sehat. Bukan hanya tumbuh tapi NPL naik atau tumbuh tapi konsumen banyak yang complain soal pengelolaan dananya," lanjut Taufan.
Dia pun membeberkan, sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh satu provider P2P lending untuk mendapatkan izin dari OJK. Salah satunya harus mengantongi sertifikat ISO 27001 terkait keamanan informasi.
"Kita memang diawasi secara ketat untuk mendapatkan izin. Menurut saya, karena lembaga keuangan, ada dana publik di situ. Mereka (OJK) bangun standar mendekati bank. Meskipun tidak se-rigid bank," urai dia.
Advertisement