Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak naik 1 persen pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta). Pendorong kenaikan harga minyak dunia ini karena adanya pertempuran di Libya dan jatuhnya ekspor Venezuela serta Iran.
Berbagai sentimen tersebut membuat kekhawatiran investor mengenai pengetatan pasokan semakin meningkat. Namun ketidakpastian program pembatasan produksi dadri OPEC menahan kenaikan harga minyak ke level yang lebih tinggi.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip Reuters, Rabu (17/4/2019), harga minyak mentah berjangka Brent naik 54 sen atau 0,8 persen menjadi USD 71,72 per barel. Sedangkan harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 65 sen atau 1 persen menjadi USD 64,05 per barel.
Harga minyak memperpanjang kenaikan dalam perdagangan berjangka setelah data dari kelompok industri American Petroleum Institute menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS turun secara tak terduga minggu lalu.
Penurunan persediaan minyak mentah di AS mencapai 3,1 juta barel. Sedangkan para analis memperkirakan penurunan persediaan tersebut hanya di kisaran 1,7 juta barel saja.
Sedangkan data resmi dari pemerintah AS akan dirilis para Rabu waktu setempat.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Libya dan Sanksi AS
Di Libya, pertempuran antara Tentara Nasional Libya Khalifa Haftar dan pemerintah telah meningkatkan prospek pasokan yang lebih rendah dari anggota OPEC.
Sanksi AS terhadap dua anggota OPEC lainnya yaitu Iran dan Venezuela juga ikut memotong angka ekspor minyak. Ekspor harian minyak mentah Iran telah turun di bulan April ke level terendah tahun ini.
“Pasokan global turun lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pasar tidak seimbang, ”kata Phil Flynn, analis Price Futures Group di Chicago, AS.
“Penurunan pasokan minyak di Venezuela akan mengambil korban. Pemotongan OPEC akan mengambil korban mereka," tamabah dia.
Advertisement
Kesepakatan Pemotongan Produksi
Harga minyak telah naik lebih dari 30 persen di tahun ini dibantu oleh kesepakatan antara OPEC dan produsen lain termasuk Rusia. Kelompok ini telah memangkas produksi sejak 1 Januari dan akan memutuskan apakah akan melanjutkan pada 1 Juni nanti.
Seorang pejabat dari Gazprom Neft, perusahaan minyak raksasa Rusia, mengharapkan kesepakatan minyak global antara OPEC dan sekutunya akan berakhir pada paruh pertama tahun ini.
Rusia dan OPEC dapat memutuskan untuk meningkatkan produksi untuk memperjuangkan pangsa pasar dengan Amerika Serikat kata Menteri Keuangan Anton Siluanov.
"Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa Rusia tidak akan menyetujui perpanjangan pemotongan produksi dan kita bisa melihat mereka secara resmi meninggalkannya kesepakatan," kata Edward Moya, analis senior OANDA.