Sukses

Industri Diharapkan Tumbuh Minimal 5 Persen Tahun Ini

Dengan kondisi yang diharapkan lebih kondusif setelah pelaksanaan pesta demokrasi.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berharap investasi dan kegiatan ekonomi kembali bergeliat usai pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) pada 17 April 2019. Dengan demikian, bisa mendorong pertumbuhan industri lebih tinggi di tahun ini.

Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar mengatakan, pada tahun ini, pertumbuhan industri ditargetkan minimal berada di atas 5 persen. Bahkan diharapkan bisa kembali di atas pertumbuhan ekonomi nasional.

"Kita sih berharap bisa lebih tinggi dari ekonomi. Tetapi kita masih lihat, karena sekarang (2018) kan ekonomi (tumbuh) 5,17 persen, sedangkan industri 4,97 persen," ujar dia di saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (20/4/2019).

Dengan kondisi yang diharapkan lebih kondusif setelah pelaksanaan pesta demokrasi, Haris menilai bisa mendorong investasi dan kegiatan ekonomi yang selama ini tertunda karena menunggu situasi pasca Pemilu.

"Kita mengharapkan situasi makin membaik, kalau kita lihat penanaman modal asing (PMA) sudah semakin bagus. Kita harapkan setelah Pemilu terjadi peningkatan dari sisi investasi dan pergerakan ekonomi lain yang mendorong pertumbuhan industri lebih tinggi," kata dia.

‎Namun, Haris juga menyadari jika pada tahun ini masih banyak tantangan yang mempengaruhi ekonomi dan investasi di Indonesia, seperti pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan menurun. Oleh sebab itu, Kemenperin tidak memasang target yang terlalu tinggi untuk pertumbuhan industri di 2019 ini.

"Cuma banyak faktor (tantangan). Tetapi paling tidak kita harapkan (pertumbuhan industri) bisa di atas 5 persen," tandas dia.

2 dari 2 halaman

Presiden Terpilih Harus Bisa Kembalikan Kejayaan Industri Manufaktur

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyatakan, hal terpenting untuk bisa memperkuat struktur ekonomi Indonesia yakni dengan cara mengembangkan sektor manufaktur atau industri pengolahan.

"Ini yang pertama kali harus dibenahi dulu sebelum kita loncat kepada sektor jasa. Karena sekarang manufaktur kita mengalami proses deindustrialisasi dini, atau deindustrialisasi prematur yang berlangsung lebih cepat dari negara-negara Asia lainnya," urainya saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (17/4/2019).

Menurut pandangannya, manufaktur ke depan akan menjadi salah satu sektor terbesar yang menyerap tenaga kerja. "Jadi kalau manufakturnya belum mampu serap tenaga kerja, bonus demografi bisa jadi bencana demografi, bisa jadi tingkat penganggurannya banyak," imbuhnya.

Dia pun berharap agar Presiden RI terpilih kelak mau memusatkan perhatian untuk bisa mengembalikan kejayaan industri manufaktur di Tanah Air.

"Jadi saya harapkan dalam konteks pilpres juga, siapapun yang terpilih, punya concern dan punya kebijakan yang memang bisa dirasakan untuk mengembalikan industrialisasi (sektor manufaktur)," ujar dia.

 

Bhima melanjutkan, hal berikutnya yang paling penting untuk dibenahi demi memperkuat perekonomian negara yakni berkaitan dengan devisa hasil ekspor atau uang hasil ekspor yang selama ini tersimpan di bank di luar negeri. Dia mendesak agar uang milik negara itu ditarik pulang ke Indonesia dengan banyak cara.

"Kalau kita enggak bisa menggunakan cara yang keras karena khawatir banyak investor yang enggak senang, untuk mengembalikan devisa hasil ekspor ya tambah besarkan lagi insentifnya. Misalkan insentif perpajakannya benar-benar di 0 persen kan, sehingga devisa hasil ekspor itu bisa tetap di bank dalam negeri," ungkapnya.

Sektor berikutnya yang turut menjadi perhatian Bhima yakni industri pertanian, yang menurutnya butuh untuk dilakukan regenerasi, baik dari pelaku hingga alat dan fasilitasnya.

Untuk jangka pendek, stabilitas makro ekonomi pun dinilainya wajib untuk dijaga, khususnya dalam mendorong kinerja ekspor dan mengurangi devisit transaksi berjalan.

"Dengan kebijakan pengendalian impor, pengendalian impor bahan pangan, kita harus membuat industri substitusi impor sehingga bahan baku impornya menjadi lebih banyak. Kita juga harus lebih agresif lagi untuk mengekspor barang-barang kita ke pasar alternatif," pungkas dia.