Sukses

Sri Mulyani Tak Ingin RI Seperti Islandia soal Pemanfaatan Panas Bumi

Indonesia tak boleh menunggu sampai kondisi seperti Islandia terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri mulyani mengatakan Indonesia memiliki potensi geotermal yang cukup besar namun belum termanfaatkan dengan optimal. Dia pun berharap Indonesia tidak seperti Islandia dalam pengembangan geotermal. Di mana negara itu, baru mengembangkan geotermal saat sudah dilanda krisis.

Islandia adalah salah satu negara yang berhasil bangkit dari keterpurukan neraca perdagangan dengan memanfaatkan sumber panas bumi. Negara yang berada di bagian utara bumi ini pernah mengalami krisis parah karena bergantung pada satu sumber energi, yaitu minyak bumi.

"Kalau bisa mengembangkan geotermal, akan memberi efek positif untuk ekonomi Indonesia yang luar biasa, impor minyak turun, kemampuan punya security energi besar. Saya teringat kunjungan saya ke Iceland. Sebagai ekonom, melihat Iceland sebagai negara totally bangkrut karena impor energinya," ujar Sri Mulyani di Dhanapala, Jakarta, Kamis (25/4/2019).

Islandia, saat mengalami krisis parah kemudian, mengubah kebijakan negaranya. Negara tersebut tak lagi mau bertumpu pada impor minyak sebagai sumber energi utamanya.

"Kita bayangkan kebutuhan mereka untuk heater (pemanas) sangat besar dan sangat tergantung energi dari fuel, neraca pembayaran mereka jeblok karena semua impor, di dalam rangka hidup hangat saja. Karena bangkrut mereka mikir, di perut bumi Iceland itu geotermal, jadi mereka convert geotermal untuk negaranya," jelas Sri Mulyani.

Indonesia, kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, tak boleh menunggu sampai kondisi seperti Islandia terjadi di Indonesia. Pihaknya siap mendukung setiap pengembangan geotermal melalui pendanaan proyek agar ketergantungan Indonesia terhadap kebutuhan impor energi menurun.

"Saya rasa Indonesia tidak perlu didrive memilih sepertui itu (Iceland). Kami di Kemenkeu siap kerja sama dengan Menteri ESDM, Menteri BUMN, Menteri Perekonomian, Menteri Kemaritiman, PLN, untuk bisa mengembangkan karunia Tuhan luar biasa bagi bumi Indonesia. Masa diberi hadiah nggak bisa digunakan," tandasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

2 dari 2 halaman

Atasi Impor Minyak Tinggi, Sri Mulyani Sebut RI Harus Contoh Islandia

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut ketergantungan tinggi atas impor minyak menjadi salah satu faktor yang menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia.

Oleh karena itu, dirinya meminta Indonesia dapat mencontoh Islandia untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan.

"Sejak 1990, Islandia benar-benar bergantung pada energi berbasis minyak bumi. Sehingga setiap kali kebutuhan meningkat, mereka impor banyak," kata Sri Mulyani saat memberikan sambutan di acara Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2018, di JCC Senyan, Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Namun, di tengah kondisi ketergantungan tersebut Islandia mampu keluar dan membuat kebijakan baru untuk menghentikan penggunaan minyak sebagai energi di pembangkit.

"Mereka (Islandia) hentikan semua pembangkit dengan bahan bakar minyak dan sepenuhnya jadi bergantung pada panas bumi. Mengingat mereka miliki potensi besar," imbuh Sri Mulyani.

Dengan demikian, Sri Mulyani berharap, Indonesia yang juga sebagai importir minyak harus benar-benar mengubah strategi. Tentu saja hal ini guna melepas ketergantungan terhadap impor minyak.

Diketahui, pemerintah secara resmi telah meluncurkan perluasan penggunaan B20 yakni pencampuran minyak nabati pada solar nonsubsidi sebesar 20 persen pada 1 September kemarin.

Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, perluasan B20 ini dilakukan untuk mendorong ekspor dan memperlambat impor dalam rangka menyehatkan neraca pembayaran.

Jadi,ke depan langkah ini diharapkan dapat menghilangkan defisit neraca perdagangan dan mengurangi defisit transaksi berjalan.

"Kebijakan yang kita anggap dapat cepat menghasilkan tidak menunggu investasi yakni salah satunya B20. Karena begitu kita mulai dampaknya nomor satu adalah penghematan devisa dan karena soalnya itu dicampur CPO berarti berkurang kebutuhan solarnya. Kemudian kita tahu bahwa produksi dan stok CPO tinggi," ujar Darmin.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com