Sukses

Laporan Keuangan Janggal, Kinerja Garuda Indonesia Bakal Terganggu

Dua komisaris tolak penandatanganan laporan keuangan tahun buku 2018 PT Garuda Indonesia Tbk.

Liputan6.com, Jakarta - Penolakan penandatanganan laporan keuangan tahun buku 2018 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) oleh dua komisaris yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria dinilai akan mempengaruhi kredibilitas perusahaan.

Analis OSO Sekuritas, Sukarno Alatas menilai, pergerakan harga saham Garuda Indonesia pun dipastikan terganggu untuk jangka pendek. Selain itu, timbul kekhawatiran dari pihak investor terhadap Garuda.

"Kalau dampak ke kinerja tidak terlalu besar, cuma tingkat kredibilitas perusahaan terganggu. Jadi timbul kecemasan untuk investor dalam melakukan investasi di perusahaan ini," tutur dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (26/4/2019).

Sementara itu, Kepala Riset Koneksi Capital Alfred Nainggolan menuturkan, dampak kontroversi laporan keuangan Garuda Indonesia bergantung dari pada substansi masalah perseroan. 

"Kalau alasannya tidak substantif, maka dampaknya tidak terlalu besar. Tapi jika substantif, misalnya laporan transaksi dan lain-lain itu semua diragukan, ya itu bisa berpengaruh," ujar dia.

Dia melanjutkan, dampak dari insiden ini, investor akan cenderung wait and see (mengamati) melihat perkembangan dari masalah perbedaan laporan keuangan perusahaan tersebut.

"Kalau pasar mungkin menunggu ya. Karena kalau saya melihatnya ini tidak hanya penolakan laporan keuangan saja. Ada 2 komisaris mengekspos penolakan ini, padahal kan bisa di rapat internal. Jadi tentu ada di substansinya," tambah dia.

Pada penutupan perdagangan saham, Jumat 26 April 2019, saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menguat 1,73 persen ke posisi Rp 470 per saham.

Pada awal perdagangan, saham PT Garuda Indonesia Tbk sempat turun dua poin ke posisi Rp 460 per saham. Saham PT Garuda Indonesia Tbk sempat berada di level tertinggi Rp 474 dan terendah Rp 446 per saham. Total frekuensi perdagangan saham 3.117 kali dengan nilai transaksi Rp 40,2 miliar.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

BEI Bakal Panggil Direksi Garuda Indonesia 30 April

Sebelumnya, Otoritas PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengaku sudah meminta penjelasan kepada manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) terkait perbedaan pendapatan antara pihak komisaris dan manajemen terhadap pembukuan laporan keuangan 2018.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan, pihak bursa kini tengah berkoordinasi dengan perusahaan perihal masalah perbedaan pendapatan tersebut.

Dirinya pun menambahkan, BEI akan melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak Garuda pada 30 April 2019 ini, yaitu pada pekan depan.

"Untuk memperjelaskan nature transaksi atas pendapatan tersebut, bursa akan mengadakan hearing pada Selasa, 30 April ini," tuturnya di Jakarta, Jumat, 26 April 2019.

Menambahkan, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi membenarkan bahwa otoritas bursa siap memanggil direksi Garuda pada pekan depan.

"Iya benar, minggu depan kita akan undang minta klarifikasinya atas perbedaan perlakuan akuntasinya," jelasnya.

Sementara itu, sejauh ini pihak BEI tengah mempelajari lebih lanjut terkait laporan keuangan perusahaan pelat merah tersebut.

"Terkait berita mengenai Laporan Tahunan Garuda tahun 2018, Bursa kini telah dan sedang mempelajari khususnya terkait dengan perjanjian dan pengakuan pendapatan," terang Nyoman.

3 dari 3 halaman

Dua Komisaris Tolak Pencatatan Laporan Keuangan Garuda Indonesia

Laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) pada 2018 sedang menjadi sorotan. Apalagi dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk tidak setuju dengan pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) 24 April 2019, dua komisaris yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menyampaikan keberatan soal pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018.

Seperti diketahui, pemegang saham PT Garuda Indonesia Tbk antara lain PT Trans Airways sebesar 25,61 persen, pemerintah Indonesia sebesar 60,53 persen dan masyarakat dengan kepemilikan di bawah lima persen sebesar 13,84 persen.

Dalam dokumen yang diterima media disebutkan kalau dua komisaris tersebut meminta masukan dan tanggapan kepada Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) mengenai perlakuan akuntansi transaksi kerja sama Citilink dan Mahata. Hal ini terkait perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2018.

Dari kerja sama itu, perseroan akan mendapatkan pendapatan dari Mahata Aero Teknologi sebesar USD 239.940.000. Di antaranya sebesar USD 28.000.000 merupakan bagian hasil perseroan yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Namun, hal itu dinilai tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.

Dalam dokumen itu disebutkan pertimbangan hal itu tidak diakui dalam tahun buku 2018 dengan melihat pernyataan standar akuntansi keuangan nomor 23 (PSAK 23). Yaitu tidak dapat diakuinya pendapatan tersebut karena hal ini bertentengan dengan PSAK 23 paragraf 28 dan 29 yang berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 28, pendapatan yang timbul dari penggunaan aset entitas oleh pihak lai yang menghasilkan bunga, royalty dan dividen diakui dengan dasar yang dijelaskan di paragraph 28 jika (a) kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas. (b) jumlah pendapatan dapat diukur secara andal.

Paragraf 29, royalti diakui dengan dasar akrual sesuai dengan subtansi perjanjian yang relevan.

Dalam lampiran PSAK 23 paragraf 20 lebih dijelaskan lagi dalam ilustrasi makna dari PSAK 23 paragraf 28 tersebut yaitu bahwa imbalan lisensi atau royalti akan diterima atau tidak diterima bergantung pada kejadian suatu peristiwa masa depan. Dalam hal ini pendapatan hanya diakui jika terdapat kemungkinan besar bahwa imbalan atau royalti akan diterima. Keandalan dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.

Perjanjian Mahata ditandatangani 31 Oktober 2018, tapi hingga tahun buku 2018 berakhir, bahkan hingga surat ini dibuat, tidak ada satu pembayaran pun yang telah dilakukan oleh pihak Mahata meski pun telah terpasang satu unit alat di Citilink.

Dalam perjanjian Mahata tidak tercantum term of payment yang jelas bahkan pada saat ini masih dinegosiasikan cara pembayarannya. Sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara dari pihak Mahata kepada perseroan. Padahal bank garansi atau instrumen keuangan yang setara merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable.

Komisaris menilai kalau pengakuan pendapatan dari perjanjian Mahata oleh perseroan sebesar USD 239.940.000 merupakan jumlah signifikan. Apabila tanpa pengakuan pendapatan ini perseroan akan alami kerugian sebesar USD 244.958.308.

“Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perseroan membukukan laba sebesar USD 5.018.308,” tulis dua komisaris yang menolak keberatan tersebut.

Dampak dari dari pengakuan pendapatan tersebut, laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 menimbulkan “misleading” atau menyesatkan yang material dampaknya dari sebelumnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba, terlebih perseroan adalah perusahaan publik atau terbuka.

Adanya potensi yang sangat besar untuk penyajian kembali laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 yang dapat merusak kredibilitas perseroan.

Selain itu,pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan perseroan baik PPh maupun PPN yang seharusnya belum waktunya. Hal ini dapat menimbulkan cashflow bagi perseroan.

Laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk per 31 Desember 2018 diaudit oleh kantor akuntan publik Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan. Dalam laporan tersebut disebutkan kalau laporan keuangan konsolidasi menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material posisi keuangan konsolidasi PT Garuda Indonesia Tbk dan entitas anak 31 Desember 2018.