Liputan6.com, Jakarta Usaha jasa titip (Jastip) kini menjadi lapangan pekerjaan baru yang dilirik oleh sejumlah masyarakat. Jastip bahkan tidak hanya berkembang di dalam negeri namun juga telah merambah ke luar negeri.
Meski demikian, seiring berkembangnya jastip banyak yang belum mengetahui aturan bea masuk dan pelaksanaanya sehingga menjadi kendala bagi para pelaku usaha jastip. Lantas berapa batasan maksimal kouta barang yang dikenakan bea cukai untuk jastip barang impor?
Advertisement
Baca Juga
Kepala Subdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan Djanurindo Wibowo mengatakan, setiap perorangan maksimal hanya diperkenakan membawa kouta barang senilai USD 500 atau setara dengan Rp 7 juta (kurs Rp 14.000).
"USD 500 itu personal use ya. Jadi barang orang itu dibebaskan (bea dan cukai) untuk keperluan sendiri," ungkapnya di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Dia mengatakan, apabila pelaku jastip membawa barang dengan nilai lebih besar dari yang diatur oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maka akan dikenakan kewajiban pajak impor sebesar 10 persen "Jadi kalau lebih dari 50 persen, kena bayar 10 persen tuh," tambahnya.
Di samping itu, beberapa barang pribadi yang juga dibatasi kuotanya yakni seperti rokok dan minuman alkohol. "Kalau rokok itu 200 batang, alkohol 1 liter," pungkasnya.
Â
Reporter :Â Dwi Aditya Putra
Sumber : Merdeka.com
Saksikan video terkait di bawah ini
Kebijakan Pemerintah Indonesia Berhasil Turunkan Impor
Kebijakan pemerintah Republik Indonesia untuk mengurangi impordinilai berhasil oleh analis asing. Neraca perdagangan pada Maret dan Februari tercatat surplus pada masing-masing USD 540 juta dan USD 330 juta.
Berdasarkan laporan DBS, neraca perdagangan berhasil surplus selama dua bulan berturut-turut pada bulan Maret. Sejumlah faktor penurunan impor adalah menurunnya harga minyak, pelemahan rupiah, dan lemahnya pertumbuhan investasi.
Selain itu, sejumlah kebijakan moneter pemerintah yang ketat juga menjadi penentu dalam mengekang impor dan meningkatkan neraca perdagangan.
"Langkah itu termasuk kenaikan pajak impor (PPH 22) untuk hampir 1.000 barang konsumsi, persyaratan untuk menggunakan bahan bakar campuran biodiesel (B20) dan rencana menunda impor barang modal untuk beberapa proyek infrastruktur," tulis DBS dalam laporan yang diterima Liputan6.com, Selasa (23/4/2019).
DBS mencatat persentase impor yang turun secara tahunan adalah barang konsumsi (13,3 persen), modal (4,3 persen), dan bahan baku (7,4 persen). Sebagai catatan, impor bahan baku mendominasi impor Indonesia, yaitu 75 persen.
Â
Advertisement
Ekonomi global lesu
Impor berhasil lebih melambat meski ada pelambatan ekspor karena lesunya ekonomi global. Permintaan ekspor dari kawasan China, Jepang, dan ASEAN tercatat turun. Selain itu, DPS menyebut harga komoditas utama Indonesia seperti batu bara, CPO, dan karet diprediksi tetap datar oleh DBS tahun ini.
Ekonomi China diprediksi melambat tahun ini, namun DBS menyebut stabilisasi ekonomi China membuka kemungkinan meningkatnya ekspor. Neraca perdagangan RI tahun 2019 pun berpotensi membaik.
"Kemungkinan stabilisasi ekonomi Tiongkok dapat mendukung permintaan perdagangan di kawasan ini, termasuk Indonesia," tulis DBS.