Sukses

Menteri Rini Masih Proses Cari Pengganti Dirut PLN Sofyan Basir

Menteri BUMN Rini Soemarno menuturkan, pihaknya masih review terkait pengganti dirut PLN Sofyan Basir.

Liputan6.com, Purwakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno mengatakan, pihaknya masih belum bisa memastikan kapan bisa mengangkat Direktur Utama (Dirut) definitif PT PLN (Persero) pengganti Sofyan Basir yang dicopot setelah dijadikan tersangka oleh KPK terkait dugaan suap PLTU Riau-1.

Namun begitu, pihaknya saat ini akan mematuhi aturan hukum yang berlaku dan bakal menghormati KPK sebagai pihak pelapor.

"Sebagai Kementerian BUMN, kita akan mengikuti proses hukum. Kita akan hormati KPK dalam proses hukum. Tapi tetap kita selalu berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah," ujar dia di Purwakarta, Jumat (26/4/2019).

Pasca ditetapkannya Sofyan Basir sebagai tersangka, Dewan Komisaris PLN telah menetapkan Direktur Human Capital Management PLN Muhammad Ali menjadi pelaksana tugas (Plt) Dirut sementara.

Berdasarkan keputusan tersebut, Rini menilai itu merupakan langkah yang tepat. Menurut dia, keputusan itu memang telah menjadi hak bagi dewan komisaris perseroan .

Akan tetapi, ia masih belum bisa menyebutkan kapan dirut pasti PLN kelak bakal ditunjuk. Dia mengatakan, keputusan itu baru akan keluar setelah dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PLN.

"RUPS-nya termasuk RUPST, Ini lagi dalam proses. Kemarin rapat dan langsung nonaktifkan dulu pak Sofyan dan menunjukan pejabat sementara. Itu tanggung jawab komisaris. Selama sebulan ini kita sebagai pemegang saham masih me-review," tutur dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Kementerian BUMN Nonaktifkan Dirut PLN Sofyan Basir

Sebelumnya, Kementerian BUMN menyatakan telah menonaktifkan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir dari jabatannya.

Ini menyusul penetapan Sofyan Basir sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek PLTU Riau-1.

"Saya sudah dapat informasi bahwa Dewan Komisaris PLN sudah menonaktifkan yang bersangkutan (Sofyan Basir). Kami tinggal menunggu surat resmi dari Dewan Komisaris hari ini (Kamis)," tutur Sekretaris Kementerian BUMN, Imam Apriyanto Putro seperti dikutip dari laman Antara, Kamis, 25 April 2019.

Imam menuturkan, penonaktifan Sofyan Basir merupakan keputusan yang sesuai dengan anggaran dasar perusahaan.

"PLN itu perusahaan besar, strategis, dan melayani kebutuhan listrik masyarakat dan seluruh jenis industri. Jadi (Sofyan Basir) harus dinonaktifkan,” ujar dia.

Terkait itu, Imam juga menyebutkan, Dewan Komisaris PLN telah menetapkan Muhammad Ali, Direktur Human Capital Management PLN sebagai pelaksana tugas (Plt) Dirut PLN.

"Sesuai anggaran dasar, RUPS mempunyai waktu 30 hari untuk melakukan proses pergantiannya (dengan dirut definitive) dan untuk sementara mengangkat Plt pak Muhammad Ali,” ujar dia.

 

3 dari 3 halaman

Dirut PLN Jadi Tersangka KPK

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir sebagai tersangka. Sofyan diduga terlibat dalam korupsi pembangunan PLTU Riau-1 yang melibatkan mantan anggota Komisi VII Eni Saragih dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham.

"KPK meningkatkan penyidian SFB Direktur Utama PLN diduga membantu Eni Saragih selaku anggota DPR RI, menerima hadiah dari Johannes Kotjo terkait kesepakatan kontrak pembangunan PLTU Riau-1," kata Komisioner KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Selasa, 23 April 2019.

Peningkatan proses hukum dari penyelidikan ke penyidikan ini berdasarkan dua alat bukti juga berdasarkan fakta persidangan yang melibatkan empat tersangka sebelumnya, antara lain Eni Saragih, Johannes Kotjo, dan Idrus Marham.

Sebelumnya, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim Tipikor Jakarta. Idrus dinyatakan terbukti menerima Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) melalui mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

Majelis hakim berpendapat, meski dalam perkara ini Idrus tidak menikmati hasil korupsinya. Sebab, berdasarkan fakta persidangan Idrus yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal dan pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar mengetahui penerimaan uang oleh Eni Saragih.