Liputan6.com, Jakarta - Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke daerah di luar pulau Jawa menyita perhatian. Berbagai aspek tentu harus diperhatikan agar proses pemindahan berjalan lancar, termasuk segi pembiayaan.
Pemindahan ibu kota negara menelan biaya yang tidak sedikit. Ada dua skema pemindahan yang diusulkan Bappenas, yaitu skema rightsizing dan tidak. Dengan skema rightsizing, biaya yang diperlukan sekitar Rp 323 triliun dan untuk skema non-rightsizing sekitar Rp 466 triliun.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyatakan, sumber dana pemindahan ibu kota berasal dari APBN, BUMN, perusahaan swasta dan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Advertisement
Baca Juga
"Adapun untuk APBN akan kita minimalkan hanya untuk membiayai infrastruktur dasar. Kami upayakan agar tidak memberatkan APBN," ujarnya di Gedung Bappenas, Senin (30/4/2019).
Sementara untuk rinciannya, APBN nantinya dialokasikan untuk membangun infrastruktur dasar seperti fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen. Dana dari BUMN akan digunakan untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial.
Sementara dari skema KPBU, dana akan digunakan untuk beberapa infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Untuk perusahaan swasta, murni dialokasikan untuk properti perumahan dan fasilitas sosial.
Rencana pemindahan ibu kota negara sendiri sudah disetujui Presiden Joko Widodo. Jokowi memilih ibu kota negara ditempatkan di luar Jawa demi pemerataan ekonomi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Harus Ada Hitungan Pembiayaan yang Jelas Soal Pemindahan Ibu Kota
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan bahwa kota di Kalimantan menjadi lokasi yang cocok jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) benar-benar menginisiasi rencana pemindahan ibu kota.
Ali menjelaskan ada beberapa alasan yang membuat kota di Kalimantan cocok sebagai lokasi ibu kota baru.Â
Indonesia akan memiliki kota pemerintahan dan kota bisnis yang terpisah seperti Amerika Serikat (AS) dan China apabila ibu kota negara jadi berpindah. Namun, ia menyoroti biaya yang harus dikeluarkan jika pemerintah hendak berpindah rumah.
"Jakarta pasti tetap sebagai kota bisnis. Yang harus dipikirkan masalah biaya yang sangat tinggi dan pembentukannya harus terencana dengan baik. Jangan seperti Jonggol yang berhenti di tengah jalan," ungkapnya kepada Liputan6.com, Selasa (30/4/2019).
Dia menilai, pemerintah harus menjalankan proses politik yang sangat matang guna merealisasikan rencana pemindahan Ibu Kota tersebut.
Selain itu, komitmen pemerintah pada keinginan pemindahan ibu kota juga harus dipastikan dapat berjalan berkesinambungan (sustain).
"Kan tidak tahu juga apakah ketika Presidenya ganti, kemudian kebijakanya akan tetap terus berjalan. Perlu ada kepastian jika ada perubahan kepengurusan maka kebijakan juga bisa on going," ucapnya.
Meski masih mempertanyakan, dirinya menilai kebijakan ini sebaiknya dapat dielaborasi dan dipaparkan lebih jelas oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait komitmen pemerintah kedepan.
"Kita yang penting harus tahu kasil kajian atau grand design dr Bappenas. Kemudian bagaimana pembiayaanya serta komitmen pemerintah maupun MPR/DPR dalam mensokong rencana pemindahan Ibu Kota ini," kata dia
Advertisement
Pemindahan Ibu Kota Butuh Biaya Rp 466 Triliun
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan estimasi biaya yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru seluas 40 ribu hektare di luar Pulau Jawa membutuhkan sekitar Rp 466 triliun.
"Kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan tadi di mana skenario satu diperkirakan sekali lagi akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun atau USD 33 miliar, " kata Bambang dikutip dari Antara, Senin (29/4/2019).
Luas lahan 40 ribu hektare dibutuhkan jika jumlah penduduk mencapai 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif serta pelaku ekonomi dan anggota TNI dan Polri turut migrasi ke ibu kota baru.
"Dengan penduduk 1,5 juta di mana pemerintahan akan membutuhkan 5 persen lahan, ekonomi 15 persen, sirkulasi infrastruktur 20 persen, permukiman 40 persen dan ruang terbuka hijau 20 persen. Diperkirakan dibutuhkan lahan minimal 40 ribu hektare untuk membuat ibu kota baru, itu skenario yang pertama," jelas Bambang.
Sementara untuk skenario kedua dengan keperluan luas lahan yang lebih kecil, yakni 30.000 hektare, dikalkulasi membutuhkan biaya Rp323 triliun atau 23 miliar dolar AS.
Untuk skenario kedua, jumlah orang yang bermigrasi yakni 870.000 jiwa terdiri dari aparatur sipil negara kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif, aparat TNI dan Polri, dan pelaku ekonomi.
2 Alasan Utama Jokowi Setuju Ibu Kota Pindah ke Luar Jawa
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke daerah lain di luar pulau Jawa. Ada alasan tersendiri mengapa pemilihan daerah harus di luar pulau Jawa.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, alasan rasional pemindahan ibu kota ini adalah demi pemerataan ekonomi.
"Pertama, pulau Jawa menanggung hampir 50 persen ekonomi Indonesia. Kedua, mendorong pemerataan ekonomi ke Indonesia bagian timur," ujar Bambang di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).
Bagaimanapun, menurut Bambang, pulau Jawa masih terlalu dominan untuk perekonomian Indonesia. Pemindahan ibu kota juga dilakukan untuk mengubah mindset agar Indonesiasentris.
Selain itu, nantinya ibu kota baru akan dicanangkan dapat merepresentasikan identitas bangsa, meningkatkan pengelolaan pemerintahan yang efektif dan efektif serta menerapkan ibu kota yang smart, green dan beautiful city.
"Diperlukan komitmen yang kuat dalam keputusan pemindahan ibu kota ini, karena membutuhkan pertimbangan strategis politis. Karena ini mega project, jadi perlu koordinasi yang solid agar semuanya berjalan dengan lancar," tutupnya.
Advertisement