Sukses

Potensi Kerugian Negara Jika Usaha Jastip Merajalela

Usaha jasa titip atau jastip kini menjadi lapangan pekerjaan baru yang dilirik oleh sejumlah masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Usaha jasa titip atau jastip kini menjadi lapangan pekerjaan baru yang dilirik oleh sejumlah masyarakat.

Jastip bahkan tidak hanya berkembang di dalam negeri akan tetapi juga merambah ke luar negeri.

Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi mengatakan, potensi kerugian negara mencapai 17 persen dari harga barang apabila jastip marak di Indonesia. Kerugian ini berasal dari PPN 10 persen, PPh 10 persen dan Bea Masuk 7,5 persen. 

"Kalau kita lihat (potensi kerugiannya) PPN 10 persen, PPh 10 persen, bea masuk 7,5 persen. Jadi sekitar 17 persen dari barang," ujar Heru saat ditemui di Kantor Pusat Bea dan Cukai, Jakarta, Selasa (30/4/2019).

Heru menuturkan, pemerintah tidak melarang masyarakat membawa barang dari luar negeri. Namun, harus dikondisikan jumlah barang dengan harga yang boleh dibawa masuk ke dalam negeri yaitu maksimal sekitar Rp 7 juta. 

"Kita tertibkan, kita arahkan agar mengimpor secara resmi yang telah kami tetapkan. Dia tidak boleh pergi ke luar negeri tapi niatnya berdagang itu tidak boleh, kalau memang mau berdagang kami fasilitasi dengan dokumen secara benar," ujar dia.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Ini Sanksi Jika Barang Bawaan Jastip Lebih dari Rp 7 Juta

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menindak tegas bagi pelaku jasa titip atau Jastip yang kedapatan membawa kouta barang bawaan senilai USD 500 atau setara dengan Rp 7 juta (kurs Rp 14.000).

Selain, diwajibkan membayar pajak pihaknya juga akan menyita barang bawaannya tersebut.

"Bisa juga barang jadi milik negara, disita," kata Kepala Subdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan Djanurindro Wibowo, saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat, 26 April 2019.

Dia mencontohkan, seperti halnya yang terjadi pada pelaku Jastip beberapa waktu lalu. Sempat ditemui kedapatan menyembunyikan puluhan handpone (HP) dari luar negeri di badannya. Sebagai tindakan, akhirnya pihaknya menyita seluruh HP tersebut.

Djanurindro mengatakan, sanksi lain yang akan diberikan kepada para Jastip yang terindikasi melakukan penyelundupan barang akan dikenakan tindakan secara hukum.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan maka sanksinya adalah kurungan badan.

"Pelaku Jastip yang seperti itu mesti ditegakkan, UU Nomor 17 Tahun 2006 pasal 102 103 itu dijelasin sengaja menyembunyikan barang bisa dipidanakan," tegas dia.

DJBC sendiri pada dasarnya mendukung kegiatan para Jastip. Asalkan, para pelaku usaha taat pada aturan yang ditetapkan. "Jadi enggak masalah (jastip) asal jangan tax avoidance, nggak menghindari pajak dan bertanggung jawab," tutur dia.

 

3 dari 3 halaman

Alasan Kemenkeu Batasi Jasa Titip Impor

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta kepada para pelaku jasa titip (Jastip) khsusus barang-barang impor menaati peraturan yang ada. Di mana, DJBC sendiri mengatur maksimal kouta barang bawaan hanya senilai USD 500 atau setara dengan Rp 7 juta (kurs Rp 14.000)

Kepala Subdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan Djanurindo Wibowo mengatakan, para pelaku Jastip tetap harus bertanggungjawab atas baraang bawaannya.

Apabila nilai barang tersebut melebihi itu, maka tetap harus dikenakan bea masuk 10 persen dan pajak penghasilan nilai (PPN) atas kegiatan impor 10 persen.

"Jadi kami liat adil kok. Artinya sharing kargo, tetapi tetap memberikan perhatian yang tinggi terhadap kewajiban perpajakan. Jangan sampai bisnis (Jastip) itu berkembang karena penghindaran pajak," katanya saat ditemui di Kantornya, Jumat, 26 April 2019.

"Tidak bisa kemudian dia bilang 'waduh ini titipan temen'. 'Ini kedapatan kamu yang bawa kok' itu yang harus diperhatikan," tambahnya.

Sejauh ini pihak DJBC sendiri terus melakukan koordinasi dengan sejumlah bandara yang ada di Indonesia. Tak sampai di situ, sharing data juga turut dilakukan dengan sejumlah otoritas kepabeanan negara-negara lain. Hal ini dilakukan untuk memperketat terjadinya penghindaran pajak dari para pelaku Jastip.

"Kalau dia tidak bayar pajak kan ada petugas kita yang menganalisa (misalkan berapa nilai barang bawaanya) tetapi perilaku seperti ini sudah mulai ke baca yak," kata dia.

Meski demikian, hingga saat ini potensi kerugian atas pelaku Jastip yang bandel atau menghindari pajak belum terlihat signifikan. Sebab, tren pertumbuhan bisnis ini pun secara perkembangan juga dinilai masih baru.

"Kalau potensi kerugian secara ini kita belum, tetapi ini kan baru mulai," pungkasnya.

Â