Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto membantah pernyataan yang menyebut Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi dini.
Dia menyebutkan, sejumlah indikator yang menunjukkan tidak terjadi deindustrialisasi dini di Indonesia.
"Standar norma baru harus diikuti. Kalau kita lihat industri saat sekarang itu basisnya adalah PMI purchase manager index, confident level pelaku industri. PMI indeks kita selalu di atas 50 keculi bulan januari. Karena saat januari kontrak baru dikasih," tegas Airlangga saat ditemui, di JCC, Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Indeks manajer pembelian (Purchasing Managers Index/PMI) manufaktur Indonesia pada Maret 2019 berada di level 51,2. Angka tersebut melonjak dari bulan sebelumnya yang berada di level 50,1.Â
Indikator lain yakni setoran pajak sektor industri pun yang tertinggi jika dibandingkan sektor lain. Airlangga menyatakan, kontribusi sektor industri terhadap penerimaan pajak mencapai 30 persen.
"Kontributor pajak terbesar itu sektor industri, 30 persen. Itu keseluruhan, kelapa sawit, otomotif, kimia, segala macam, jadi termasuk fesyen. Ini agregatnya 30 persen dari pajak nasional. Yang bayar PPn juga produk industri, karena PPn itu kan pajak pertambahan nilai di setiap bahan," ujar dia.
"Cukai di atas Rp 160 triliun, 95 persen (disumbang) industri. Sektor formal yang kerja 17 juta di sektor industri. Jadi yang disampaikan itu dari berbagai kriteria tidak memenuhi syarat (bahwa tengah terjadi deindustrialisasi dini)," kata dia.
Sementara terkait share sektor industri pada PDB (Produk Domestik Bruto) yang sebesar 20 persen, menurut Airlangga Hartarto, angka tersebut merupakan angka yang tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
"Share PDB 20 persen itu nomor 4 tertinggi di dunia. Jerman dan Indonesia sama. Apakah bisa dibilang Jerman deindustrialisasi? Cina 29 persen, yang di atas 30 persen negara G20 tidak ada. Jadi ada itu yang dilihat tahun 2000-an, bukan 2019. Tidak ada deindustrialisasi dini, itu kontribusi terbesar," tandasnya.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
JK Bantah Terjadi Deindustrialisasi di Indonesia
Sebelumnya, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) menegaskan jika kondisi sektor industri di Indonesia tidak mengalami penurunan atau terjadi deindustrialisasi. Industri di tanah air terus berkembang, bahkan pertumbuhannya bisa mencapai 5 persen per tahun.
"Sudah dijelaskan bahwa tidak benar terjadi deindustrialisasi, sebab pertumbuhan industri kita juga 5 persen per tahun tidak ada yang berkurang," kata dia saat membuka Indonesia Industrial Summit 2019 di ICE BSD, Tangerang, Senin, 15 April 2019.
Ia menuturkan, sektor industri saat ini juga telah berkontrubusi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini terlihat kurun 2014 hingga 2017, kontribusi sektor industri ke PDB tembus di atas 20 persen.
"Pertumbuhannya 21,3 persen. Artinya industri tetap yang tertinggi sektor tertinggi dalam pendapatan nasional," jelas dia.
Meski telah meningkat, JK tak menampik bahwa sektor industri sempat menurun. Akan tetapi, penurunan itu terjadi pada saat harga komoditas merosot.
"Beberapa waktu lalu ada penurunan krisis 2008-2009 mungkin. Setelah itu ada perkembangan yang baik," pungkas dia.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian sektor industri merupakan kontributor terbesar terhadap PDB Indonesia pada tahun 2018.
Sektor ini juga menjadi kontributor terbesar dalam penerimaan negara pada 2018 yang mencapai sebesar 30 persen dari total penerimaan pajak.
Â
Advertisement
Kemenperin Bantah Deindustrialisasi
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membantah jika Indonesia tengah mengalami fase deindustrialisasi. ‎Meski saat ini pertumbuhan industri menurun dan berada di bawah pertumbuhan ekonomi.
Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar mengatakan, salah satu gejala dari deindustrialisasi yaitu penurunan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Meski terjadi penurunan, namun kontribusi industri terhadap PDB masih cukup besar yaitu sekitar 22 persen.
‎"(Gejala deindustrialisasi) Pertama, kontribusi industri terhada PDB sangat rendah, artinya menurun drastis. Ini sekarang kan masih cukup tinggi. Memang secara persentase agak turun, tetapi kan ekonomi sudah tumbuh, investasi jalan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu, 14 April 2019.
Kemudian, gejala lain dari deindustrialisasi yaitu penurunan jumlah dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Menurut Haris hal tersebut juga tidak terjadi saat ini.
"Kedua, dari sisi tenaga kerja dia mengalami penurunan. Sekarang kita tiap tahun masih butuh tenaga kerja yang besar. Kita selalu ada program link ank match. Artinya kebutuhan tenaga kerja di industri itu besar. Cuma masalahnya tidak link dan tidak match dengan kebutuhan industri. Tahun ini kita sudah sekitar 18 juta tenaga kerja (di industri) dan tiap tahun diharapkan terjadi penyerapan tenaga kerja sekitar 600 ribu orang," jelas dia.
Melihat dua hal ini, lanjut Haris, pernyataan Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto terkait deindustrialisasi yang disebut tengah melanda Indonesia tidak terbukti. Selain itu, industri Indonesia juga masih punya potensi untuk tumbuh dengan masuknya era revolusi industri ke-4 (industri 4.0).
"Dengan dua hal itu, tidak terbukti deindustrialisasi.‎ Mereka kan hanya mendengar orang-orang yang ngomong. Tetapi yang ngomong orang yang tidak mengerti industri," tandas dia.
Â