Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 722 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang tersebar di seluruh Indonesia belum memenuhi ketentuan modal inti minimum. Aturan ini sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
POJK tersebut mengatur seluruh BPR wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp 3 miliar paling lambat 31 Desember 2019, dan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2024.
Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR, Ayahandayani mengatakan, hingga per Januari 2019 dari 722 BPR yang belum memenuhi standar modal inti minimum, sebanyak 374 BPR belum memenuhi modal inti minimum sebesar Rp 3 miliar. Sementara sisanya sebanyak 348 BPR belum memenuhi sebesar Rp 6 miliar.
Advertisement
Dia menyebut apabila BPR tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut maka OJK akan memberikan sanksi berupa membatasi aktivitas kegiatan BPR.
“Sanksinya kegiatan dibatasi, yang tadinya punya kegiatan terkait valas, kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) atau terkait ATM maka kami minta dibekukan dulu termasuk perluasan jaringan kantor dan wilayah operasional BPR akan dibatasi pada tingkat kabupaten,” ujar dia di Bandung, Jumat (3/5/2019).
Ayahandayani menambahkan bagi BPR tidak dapat memenuhi kewajiban memperoleh modal inti minimum seperti ditetapkan dalam regulasi tersebut, maka BPR diharuskan konsolidasi atau merger dengan BPR lainnya.
“Maka kami harusnya mereka (BPR) untuk merger, karena kalau sendiri-sendiri harus memenuhi ketentuan modal inti minimum secara sendiri maka agak sulit, sehingga nanti merger bisa efisien dan siap menghadapi persaingan,” katanya.
Berdasarkan catatan OJK, dari BPR yang masuk dalam kategori BPR Kegiatan Usaha (BPRKU) 1 atau modal inti di bawah Rp 15 miliar sebanyak 1.324 BPR. Selanjutnya, BPRKU 2 atau modal inti di antara Rp15 miliar sampai Rp 50 miliar mencapai 221 BPR. Dan terakhir BPRKU 3 modal inti lebih dari Rp 50 miliar sebanyak 52 BPR.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
OJK Beberkan Tantangan Industri BPR Saat Ini
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan berbagai tantangan industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) saat ini. Salah satu tantangan adalah arus dari perkembangan teknologi yang kemudian membawa pada kecepatan informasi.
Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR, Ayahandayani mengatakan, dengan adanya perkembangan teknologi berdampak pada kebutuhan layanan perbankan khususnya BPR. Sebab, masyarakat kini sudah dimudahkan dengan internet. Melalui internet, beragam informasi dapat diakses mudah.
"Sekarang masyarakat bisa menggunakan handpone internet sehingga menuntut layanan lebih cepat. Semua langsung bisa dipegang dengan handpone bisa melakukan transaksi. Pola belanja berubah e-commerce. Sehingga BPR mau tidak mau menghadapi tantangan dengan perkembangan teknologi saat ini," katanya dalam acara Pelatihan dan Gathering Media Massa Jakarta, di Bandung, Jumat (3/5/2019).
Dia mengatakan, dengan pola perubahan tersebut kemudian mengharuskan BPR untuk mengimbangi dengan perkembangan teknologi yang ada. Karena, dari pelayanan yang sebelumnya masih dilakukan secara tatap muka kini sudah harus mulai dirubah.
"Dulu dengan hubungan pendekatan baik tapi harus diimbangi dengan perkembangan teknologi. BPR harus menyadari pola perilaku kebutuhan masyarakat sudah mulai berubah,"
Ayahandayani menyebut upaya yang dilakukan adalah bagaimana BPR saat ini harus mampu mengantisipasi kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan cepat. Untuk itu perlu adanya inovasi dan mulai sadar akan teknologi informasi.
Di samping itu, menjadi tantangan selanjutnya adalah masalah persaingan dengan lembaga keuangan lainnya. Menurut dia, adanya ketentuan Bank Umum untuk penyaluran kredit kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi irisan pasar dengan BPR.
"Selanjutnya Kredit Usaha Rakat (KUR) beririsan dengan pasarnya BPR. Ada program seperti lembaga pemerintah CSR atau BUMN memberikan kredit UMKM jadi pesaing BPR. Kondisi ini dan teknonologi jadi tantangan BPR bagaimana mereka tetap tumbuh memberikan layanan di tengah persaingan ketat saat ini," pungkasnya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
OJK Catat Sebaran BPR 1.597 Unit, Terbanyak di Jawa dan Bali
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hingga periode Januari 2019 telah mencapai sebanyak 1.597 BPR. Jumlah tersebut tersebar di seluruh Indonesia.
Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR, Ayahandayani mengatakan, dari 1.597 BPR tersebut sebanyak 69 persen atau 1.102 BPR penyebarannya masih berpusat di Pulau Jawa dan Bali. Sedangkan sisanya 31 persen atau sebesar 495 berada di luar Jawa dan Bali.
"Kondisi ini sudah mulai baik. Dahulu di atas 80 persen di Jawa dan Bali, karena adanya kebijakan otoritas maka meluas di luar Jawa Bali," ujar dia dalam acara Pelatihan dan Gathering Media Massa Jakarta, di Bandung, Jumat (3/5/2019).
Baca Juga
Ayahandayani mengatakan, berdasarkan klasifikasi modal inti dari sebaran BPR tersebut cenderung terkonsentrasi pada kelas BPRKU 1. Modal inti dari BPR ini kurang dari Rp 15 miliar atau paling sedikit sekitar Rp 6 miliar.
"BPRKU1 sebagian besar BPR ada di sana semua di bawah Rp 15 miliar. 722 BPR separuhnya masih memiliki modal inti di bawah Rp 6 miliar," ujar dia.
Di samping itu, perkembangan kinerja industri BPR juga menunjukan tren positif. Secara aset pada pada periode Januari tumbuh 7,69 persen secara year on year (yoy) atau sebesar Rp 135,5 miliar.
Kemudian dana pihak ketiga juga mengalami pertumbuhan sebesar 8,59 persen secara (yoy) atau sekitar Rp 92,5 miliar. Pertumbuhan ini juga diikuti kredit yang sebesar 10,19 persen secara (yoy) atau Rp 98,6 miliar.
"BPR tetap mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2013 sampai 2018 agak sedikit melandai karena ada persaingan di tahun 2017-2018" pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com