Sukses

Pengusaha Ingin BI Turunkan Suku Bunga Acuan 50 Bps

Saat ini (BI) 7-day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan berada pada angka 6,00 persen.

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha berharap Bank Indonesia (BI) dapat melonggarkan penetapan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate di tahun ini. Besaran penurunan yang diharapkan adalah 50 basis point (bps).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani menjelaskan, penurunan suku bunga acuan tersebut dapat dilakukan secara bertahap oleh bank sentral.

"Berharap semaksimal mungkin bisa dilakukan, BI biasanya kan turunnya bertahap 25 bps lalu 50 bps gitu. Tapi kalau menurutnya saya kalau bisa sampai 50 bps lebih bagus," kata dia di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (3/5/2019).

Dia menyatakan, penurunan suku bunga juga akan membuat para pencari modal semakin gampang untuk mencari pinjaman dari perbankan. Saat ini bunga pinjaman masih terlalu tinggi yaitu berkisar di atas 10 persen.

"Perbankan masih tetap jadi pilihan utama para pengusaha kita. Yang jadi masalah adalah perbankan kita itu dengan berbagai alasan tidak pernah bisa mencapai apa yang diharapkan sektor riil, masih saja lending di double digit," ujarnya.

Sebagai informasi, saat ini (BI) 7-day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan berada pada angka 6,00 persen. Sementara suku bunga Deposit Facility pada angka 5,25 persen dan Lending Facility 6,75 persen.

Dia menilai, BI dapat menurunkan suku bunga acuan dari 6,00 persen ke level 5,5 persen. Sebab saat ini dikatakan sebagai momentum yang tepat untuk melakukan pelonggaran suku bunga acuan.

Kepercayaan investor terhadap pasar di Indonesia disebutnya sudah cukup baik terlebih dengan selesainya pemilihan presiden pada April lalu.

"Jadi turun ke 5,5 persen, momentumnya bagus, kondisi itu relatif secara fluktuasi dinamika lebih terkendali dan arahnya postifi," dia menandaskan.

2 dari 3 halaman

Bos BI Paparkan Upaya Penguatan Stabilitas Sistem Keuangan 2018

Sepanjang 2018 ketidakpastian ekonomi global sangat berdampak pada kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Dampak dari kenaikan tingkat suku bunga acuan AS yang dikeluarkan oleh bank sentral The Federal Reserve atau the Fed (FFR) telah menyebabkan arus keluar modal dari negara-negara berkembang.

Hal itu disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat meluncurkan buku Kajian Stabilitas Keuangan Semeter II 2018, pada Jumat (3/5/2019).

Buku kajian stabilitas keuangan edisi ke-32 itu bertema Penguatan Intermediasi di tengah Ketidakpastian Ekonomi Global. 

Perry mengungkapkan, kondisi ekonomi global yang penuh gonjang ganjing tersebut membuat BI harus merespons dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 175 basis poin (bps) sepanjang 2018.

Tujuannya adalah menarik modal asing ke dalam negeri (capital inflow), sehingga dapat menstabilkan pelemahan nilai tukar rupiah akibat penguatan dolar AS setelah Fed menaikkan FFR.

"Tantangan langkah kebijakan moneter dalam satu tahun terakhir masih sejalan dengan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, baik mikro maupun makro. Ini adalah tantangan yang harus kita perhatikan dari bank sentral. Sehingga responden yang tepat harus dirumuskan," kata Perry.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

3 dari 3 halaman

BI Gunakan Berbagai Instrumen Kebijakan untuk Mitigasi

Perry melanjutkan, kenaikan suku bunga acuan BI tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan suku bunga kredit, seperti yang ditakutkan.

Menurut dia, ini karena BI menggunakan berbagai instrumen kebijakan untuk memitigasi berbagai risiko dalam sistem keuangan.

"Hal yang tidak dapat dijelaskan dalam teori adalah bahwa suku bunga acuan naik 175 bps, tetapi suku bunga pinjaman turun 0,23 persen. Saya mengajar di UI, di UGM, teori standar tidak dapat menjelaskan, yang dapat menjelaskan bab 13, 14, 15 buku ini," ujar dia.

Dia menuturkan, koordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga terus dijaga untuk menstabilkan sistem keuangan Indonesia. Dia juga percaya kondisi sistem keuangan 2019 akan dipertahankan.

Oleh karena itu, Perry berharap penerbitan buku ini dapat menjadi pedoman di masa depan untuk memahami bagaimana stabilitas sistem keuangan Indonesia dapat dipertahankan di tengah tekanan ekonomi global sepanjang 2018.

Â