Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih melanjutkan koreksi pada pekan ini. Pernyataan pimpinan the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS menjadi katalis negatif IHSG.
Mengutip laporan PT Ashmore Asset Management Indonesia, seperti ditulis Sabtu (4/5/2019), IHSG melemah 1,28 persen dari posisi 6.401 pada 27 April 2019 menjadi 6.319,45 pada Jumat 3 Mei 2019.
Saham kapitalisasi besar melemah 1,29 persen, dan sejalan dengan penurunan IHSG pada pekan ini. Akan tetapi, investor asing beli saham USD 3,7 miliar pada pekan ini seiring ada crossing saham.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, indeks obligasi susut 0,38 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun 10 basis poin ke posisi 7,87 persen. Sedangkan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS di posisi 14.266. Selama sepekan, investor asing lepas obligasi USD 153 juta pada perdagangan Senin.
Sejumlah sentimen eksternal secara tidak langsung pengaruhi pasar keuangan global termasuk IHSG.
Pertama, negosiasi perdagangan Amerika Serikat (AS) dan China masih jadi sorotan. Negosiasi perdagangan antara AS dan China memasuki tahap akhir, tetapi kesepakatan diperkirakan gagal mengatasi beberapa tujuan utama pemerintahan AS yang dipimpin Presiden AS Donald Trump. Hal ini termasuk memerangi cybertheft China dan subsidi negara.
Presiden Trump telah berulang kali menegaskan kesepakatan perdagangan AS-China akan membahas apa yang menurut dia merupakan pola China yang ilegal mendapatkan akses ke jaringan komputer AS.
Dia juga mengatakan akan akhiri praktik ekonomi seperti subsidi yang menurut AS memberi China keunggulan kompetitif yang tidak adil.
Akan tetapi, para negosiator China telah menolak membahas cybertheft dalam konteksi negosiasi dengan alasan masalah tersebut akan ditangani dalam forum yang berbeda.
Kedua, Brexit. Partai konservatif dan buruh telah hadapi serangan balasan di kotak suara atas kebuntuan Brexit dengan partai-partai kecil dan independen memenangkan kursi.
Anggota parlemen belum menyetujui kesepakatan untuk meninggalkan Uni Eropa, dan sebagai hasilnya, batas waktu Brexit telah diundur dari 29 Maret hingga 31 Oktober.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Selanjutnya
Ketiga, pengeluaran pribadi AS. Pengeluaran pribadi di AS naik 0,9 persen dari bulan sebelumnya pada Maret 2019, mengalahkan harapan pasar 0,7 persen dan naik 0,1 persen pada Februari.
Peningkatan itu terbesar dalam pengeluaran pribadi sejak Agustus 2009, yang didukung oleh peningkatan konsumsi barang tahan lama, barag tidak tahan lama dan layanan.
Keempat, PMI manufaktur China. Indeks PMI Caixin China General Manufacturing turun secara tak terduga menjadi 50,2 pada April 2019 dari posisi tertinggi dalam delapan bukan pada posisi 50,8.
Produksi dan pesanan baru meningkat tipis di tengah permintaan luar negeri yang melemah. Pada saat yang sama, aktivitas pembelian stabil tetapi permintaan relatif lemah sehingga membuat perusahaan tetap enggan untuk memperluas persediaannya.
Di sisi harga, biaya input dan output sedikit naik dengan beberapa menghubungkan harga jual yang lebih rendah.
Â
Advertisement
IHSG Alami Koreksi Dua Hari Berturut-turut, Mengapa?
Ashmore menyoroti IHSG melemah signifikan dalam dua hari berturut-turut. Pada perdagangan saham Kamis 2 Mei 2019, IHSG melemah 80,93 poin ke posisi 6.374,42 dan Jumat 3 Mei 2019, IHSG turun 54,96 poin ke posisi 6.319.
"Indonesia bersama Korea Selatan dan India alami penuruan terbesar dalam dua hari terakhir setelah pengumuman the Federal Reserve," tulis Ashmore.
Ashmore melihat ada kesamaan di antara ketiga negara ini. Tiga negara tersebut telah menerima aliran dana investor asing lebih besar pada 2019 dibanding negara lain. Ini juga menunjukkan tingkat kelemahan mata uang relatif tinggi pada tahun lalu.
Ketika pasar meredam risiko, negara seperti Indonesia dan India dengan posisi relatif rentan karena defisit transaksi berjalan biasanya melemah lebih cepat dan kembali terjadi pada 2019.
Oleh karena itu, hal yang menjadi pertanyaan selanjutkan apakah ada alasan mendasar untuk pasar meredam risiko?
Pertama, komentar the Federal Reserve pada dua hari lalu dinilai pasar negatif, dan belum berubah secara signifikan dibandingkan pernyataan the Fed pada awal tahun.
Pimpinan the Federal Reserve Jerome Powell menuturkan, the Fed melihat inflasi lebih rendah dari yang diharapkan sebagai faktor sementara karena itu bukan faktor yang cukup besar bagi the Fed untuk memangkas suku bunga. Pasar pun merespons negatif seiring harapan ada penurunan suku bunga acuan the Fed.
Namun, Powell konsisten menyarankan the Fed untuk menerapkan pendekatan tanpa bias untuk memperketat dan memperlonggar kebijakan moneter.
"Ini tetap menjadi perhatia kami untuk the Fed. Tanpa perubahan suku bunga the Fed, Ashmore terus melihat kemungkinan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia pada semester kedua 2019," tulis Ashmore.
Kedua, harga minyak yang meningkat pada Januari 2019 akan menyeret data neraca perdagangan pada kuartal II 2019.
Adapun shal yang dicermati pada pekan depan antara lain sejumlah data ekonomi yang akan keluar dari AS, China dan Indonesia. Dari AS akan keluar data ekonomi neraca perdagangan pada 9 Mei dan inflasi 10 Mei 2019.
Dari China juga akan keluar data neraca perdagangan pada 8 Mei 2019 dan inflasi pada 9 Mei 2019. Sedangkan Indonesia akan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I 2019 pada 6 Mei 2019, neraca transaksi berjalan pada 10 Mei 2019 dan neraca perdagangan pada 15 Mei 2019.
"Setiap kelemahan data AS akan menjadi positif untuk Indonesia karena akan kurangi kekuatan dolar AS," tulis Ashmore.
Pembicaraan perdagangan antara AS-China kemungkinan juga menjadi katalis utama global pada pekan depan.
"Selain itu, setiap berita tentang stabilitas politik Indonesia juga akan berdampak untuk menarik arus dana asing baru-baru ini," tulis Ashmore.
Ashmore pun memiliki strategi untuk tetap pegang kas untuk mempertahankan dari kelemahan yang terjadi. Pihaknya pun memilih saham-saham unggulan yang alami koreksi pada pekan ini yang dipimpin sektor saham infrastruktur.
Â