Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memutuskan memindahkan ibu kota negara ke luar Jawa. Namun, hingga saat ini pemerintah belum mengungkap lokasi ibu kota baru.
Pemerintah memiliki sejumlah alasan di balik rencana pemindahan ibu kota tersebut, misalnya sebagai salah satu langkah pemerataan pembangunan di Indonesia. Selain itu, beban Jakarta dianggap sudah terlalu besar sebagai pusat pemerintahan dan bisnis.
Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika mengatakan, inefisiensi yang terjadi di Jakarta diperkirakan bisa menyentuh Rp 100 triliun per tahun. Hal ini tentu tak bisa dibiarkan terus berlanjut.
Advertisement
"Di Jakarta inefisiensi akibat kemacetan saja, termasuk polusi dan seterusnya, itu Rp 80-100 triliun setiap tahunnya. Pemborosan itu sudah bukan masanya lagi bagi kita untuk mengkompromi. Akan lebih murah bila anggaran itu dipakai untuk pemindahan ibu kota dan program lain," kata dia, saat ditemui, di Jakarta, Sabtu (4/5/2019).
"Ini harus dibaca sebagai salah satu upaya untuk proses pemerataan pembangunan dan beban dari Jakarta itu," lanjut dia.
Baca Juga
Dia menuturkan, agar hal yang sama tidak kembali terulang, ibu kota akan dirancang hanya sebagai pusat pemerintahan, tanpa bercampur dengan pusat-pusat kegiatan bisnis.
"Harapannya ketika ibu kota berpindah, maka ruang-ruang ekonomi akan terbuka tapi tidak di lokasi. Karena di lokasi ibu kota yang baru sudah dibikin zonasi, tidak akan lagi dibikin tumpang tindih antara beban pemerintah dan beban bisnis. Itu di daerah-daerah sekitarnya bukan di ibu kota," tutur dia.
Kegiatan ekonomi masyarakat, tentu akan tumbuh seiring dengan kehadiran ibu kota baru. Namun, kegiatan ekonomi dan bisnis akan terjadi di sekitar ibu kota baru.
"Yang paling pokok adalah itu pengembangan ekonomi daerah sekitar itu mencukupi lebih dalam konteks mencukupi kebutuhan warga yang ada di situ. Pengembangan ekonomi industri seterusnya pasti tidak akan bercampur dengan wilayah tadi," ujarnya.
"Pergerakan itu kita harapkan memiliki pantulan lebih luas untuk Indonesia Timur secara keseluruhan, kalau memang nanti keputusan pemindahan ibu adalah di luar Jawa dan Sumatera," ia menambahkan.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Sta Khusus Presiden Sebut Pemindahan Ibu Kota Tak Ganggu Program Pembangunan
Rencana pemindahan ibu kota memang menuai diskusi. Salah satu hal yang dikhawatirkan dari rencana ini, yaitu kemungkinan terjadinya moral Hazard di pihak pemerintah.
Artinya Pemerintah akan lebih fokus mengeksekusi rencana tersebut dan mengabaikan jalannya program-program yang berkaitan dengan masyarakat.
Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika, secara tegas menepis kekhawatiran tersebut. Dia memastikan kepentingan rakyat, dalam konteks ini alokasi anggaran untuk program pembangunan tidak akan terganggu.
"Tadi sudah saya katakan ini tidak akan sangat sangat tergantung pada APBN. Jadi tidak menggangu alokasi anggaran untuk apapun. Dan itu menjadi permintaan atau arahan dari Pak Presiden," kata dia, saat ditemui, di Jakarta, Sabtu, 4 Mei 2019.
Pemerintah kata dia, telah menyiapkan sejumlah skema untuk mendanai pemindahan kota. Skema-skema kerja sama dengan BUMN maupun swasta, saat ini sedang dikaji oleh Bappenas.
"Pemerintah sendiri akan sangat minimal sekali menggunakan dana dari APBN. Terbatas sekali," urai dia.
Atas dasar itulah, dia meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir bahwa rencana pemindahan ibu kota akan merugikan kepentingan masyarakat.
"Jadi tidak perlu khawatir dengan rencana ini kemudian dianggap akan membebani anggaran negara," tandasnya.
Advertisement
JK: Pemindahan Ibu Kota Syaratnya Berat
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kallla (JK) mengaku, masih mengkaji rencana pemindahan Ibu Kota di luar Jawa. Menurut JK, ada sejumlah syarat yang wajib dipenuhi agar rencana pemindahan Ibu Kota bisa terealisasi.
"Belum diputuskan di mananya, karena ada syaratnya lagi, ada 10 syaratnya. Sudah disepakati syaratnya, yang diajukan Bappenas itu. Syaratnya berat memang, memilihnya tidak mudah," kata JK, di Istana Wakil Presiden Jakarta, Selasa, 30 April 2019.
Seperti dilandasir dari Antara, JK mengatakan, syarat-syarat tersebut antara lain letaknya lokasi yang strategis berada di tengah Indonesia, penduduknya harus mempunyai tingkat toleransi baik, dan memiliki risiko kecil terhadap bencana alam.
Selain itu, daerah tersebut juga harus memiliki luas lahan kosong minimal 60.000 hektare.
"Boleh di Kalimantan, boleh di Sulawesi. Contohnya yang memenuhi di tengah itu Sulawesi, tapi tidak ada lahan kosong yang siap. Ada lagi yang siap, ada bahaya patahan-patahan di situ," ungkap JK.