Liputan6.com, Beijing - Langkah agresif pemerintah dan perusahaan China untuk menanam duitnya di berbagai negara ternyata tidak selamanya untung. Bank BUMN China saja harus kehilangan 161,5 dolar Hong Kong atau Rp 340,8 triliun karena kerugian nilai investasi (1 yuan = Rp 2.110).
Kerugian pengurangan nilai investasi (impairment loss) pada perusahaan China diakibatkan bermacam faktor, seperti performa perusahaan yang tidak bagus, pelambatan ekonomi, rivalitas perusahaan, sampai perang dagang, demikian laporan Nikkei Asian Review.
Tencent harus melakukan write down nilai investasinya hingga 17,5 miliar yuan (Rp 36,9 triliun) pada tahun 2018. Angka itu naik enam kali lipat dari tahun sebelumnya. Alhasil, pendapatan kuartal akhir perusahaan terseret jatuh 32 persen menjadi, penurunan kuartal paling tajam sejak tahun 2005.
Advertisement
Baca Juga
Berbagai perusahaan yang turut menggencarkan investasi juga merasakan hal yang sama. Sejak krisis keuangan di tahun 2007 dan 2009, memang dermawan mengucurkan uangnya untuk berinvestasi dengan skema M&A (merger dan akuisisi). Pemerintah China pun mendukung strategi ini yang mereka sebut zouchuqu (pergi ke luar negeri).
Nikkei Asian Review mencatat sekarang banyak perusahaan China harus menanggung biaya impairment atas hasil dari investasi-investasi tersebut. "Kesalahan pengeluaran pada masa lalu tercatat dalam pernyataan-pernyataan finansial tersebut," ujar Leo Hu, director of corporate ratings S&P Global Ratings di Hong Kong.
Berikut kerugian dari sejumlah perusahaan China akibat nilai investasi mereka yang tidak sesuai ekspektasi:
ZTE: 5,6 miliar yuan (Rp 11,8 triliun)
Tencent: 17,5 miliar yuan (Rp 36,9 triliun)
International and Commercial Bank of China (ICBC): 161,5 miliar yuan (Rp 340,8 triliun)
PetroChina: 34,5 miliar yuan (Rp 72,8 triliun)
BYD: 1,1 miliar yuan (Rp 2,3 triliun)
Dalam daftar tersebut, perusahaan energi China seperti PetroChina juga kena dampak, begitu pula CNOOC dan China Petroeum & Chemical (Sinopec). Total kerugian nilai yang dipikul ketiganya adalah 46,9 miliar yuan (Rp 98,9 triliun), namun itu turun 17 persen dari tahun 2017.
ICBC juga tak sendirian, karena China Construction Bank (CCB), Agricultural Bank of China (ABC), dan Bank of China (BOC) juga merasakan hal yang sama meski keuntungan empat bank itu naik 4,6 persen berkat pengaruh suku bunga, meski total kredit macet meningkat 3,5 persen ketimbang tahun lalu.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pemerintah China Gemar Subsidi
Beruntung, bagi sebagian perusahaan yang rugi akibat hapus buku, pemerintah China menyediakan subsidi yang royal. Ini salah satunya terjadi di industri otomotif China.
Dalam satu kasus, subsidi itu hampir menyamai keuntungan perusahaan. Contohnya seperti perusahaan mobil listrik BYD mendapatkan 2,3 miliar yuan (Rp 4,8 triliun) dana dari pemerintah China dalam pernyataan pendapatan mereka.
Lebih lanjut, Xi’an Hi-tech Industries Development Zone turut memberikan 600 juta yuan (Rp 1,2 triliun) untuk insentif pemasaran. Shanxi Transition and Comprehensive Reform Demonstration District berkontribusi 267 juta yuan (Rp 563,4 miliar), kemudian kota Shenzhen juga memberikan 115 juta yuan (Rp 242,6 miliar) untuk subsidi biaya listrik.
Tak hanya BYD, ada pula SAIC Motor yang mendapatkan USD 3,5 miliar yuan (Rp 7,3 triliun) dari pemerintah China. Chonqing Changan Automobile juga mendapat dana penelitian sebesar 2,8 miliar yuan (Rp 5,9 triliun).
Nikkei Asian Review mencatat China memang hobi memberi subsidi pada sektor strategis seperti teknologi, kendaraan listrik, dan energi. Namun, hal itu dipandang sebagai titik yang menegangkan di tengah negosiasi perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Masih banyak lagi perusahaan yang mendapat subsidi dari pemerintah China. ZTE mendapat 2 miliar yuan (Rp 4,2 triliun) sehingga meringankan sanksi dari Kementerian Perdagangan AS sebesar 30 persen. BOE Technology Group yang bersaing dengan Samsung dalam hal TV juga mendapat subsidi dalam jumlah yang sama sehingga impairment loss sebesar 1,2 miliar yuan (Rp 2,5 triliun) berhasil tertutup.
Begitu pula maskapai plat merah Air China, China Eastern Airlines, dan China Southern Airlines yang mendapat total 12,9 miliar yuan (Rp 27,2 triliun) tahun lalu. Dana yang didapat Eastern dan Southern Airlines juga lebih tinggi dari impairment loss mereka.
Advertisement
Miliarder Jack Ma Tarik Ucapan soal Kerja 12 Jam Sehari
Masalah besar lain di perusahaan China adalah budaya kerja yang belakangan ini semakin tidak terkendali.Â
Miliarder sekaligus orang terkaya di China, Jack Ma, menarik ucapannya soal bekerja lembur. Sebelumnya, ia berkata pegawai muda harus bersyukur jika kerja lembur alias 996.
Ucapannya menyulut kontroversi karena budaya kerja 996 sedang diprotes luas di industri teknologi. Pola kerja itu adalah jam sembilan pagi sampai sembilan malam selama enam hari per minggu. Â
Akhirnya pekan lalu, sang miliarder malah berkata lain dan mengecam perusahaan yang menerapkan 996. Dalam pernyataannya, ia justru cenderung membela hak karyawan.
"Tidak ada yang suka bekerja di perusahaan yang memaksa bekerja 996. Itu bukan hanya tak manusiawi, itu juga tidak sehat, dan tidak sustainable selama periode panjang," ujar Jack Maseperti dikutip South China Morning Post.
Bos Alibaba itu menyebut iming-iming gaji tinggi untuk merayu pegawai akan lembur tidak akan terlalu efektif. Jadwal 996 pun melanggar hukum dan tak disukai pegawai dan keluarga mereka.
"Dalam jangka panjang, bahkan jika kamu membayar gaji tinggi, para pegawai akan pergi," ujar Jack Ma yang memanggil perusahaan demikian sebagai bertindak bodoh dan akan gagal.
Sang miliarder pun berkata 996 yang benar adalah memakai waktu untuk belajar, berpikir, dan meningkatkan kualitas diri, dan tidak semata-mata karena uang.