Liputan6.com, Jakarta - Sudah setahun berkuasa, janji-janji populis Pakatan Harapan masih belum berbuah manis. Yang muncul justru meredupnya dukungan rakyat Malaysia ke Mahathir Mohamad yang ratingnya turun menjadi 46 persen berdasarkan survei Merdeka Center.
Dilaporkan Nikkei Asian Review, sebanyak 52 persen rakyat Malaysia tidak puas dengan cara pemerintah Mahathir mengelola ekonomi. Ekonomi Malaysia pun kondisinya sedang loyo karena pengaruh internal dan eksternal.
Advertisement
Baca Juga
Salah satu indikasi melemahnya pertumbuhan konsumsi adalah tutupnya Parkson berlantai tiga yang berada di Twin Tower. Parkson itu sudah beroperasi selama 20 tahun.
"Ini bisa saja menandakan pelemahan pertumbuhan konsumsi privat dalam beberapa bulan mendatang," tulis DBS Singapura dalam laporan terbarunya.
Konsumsi merupakan kunci dari ekonomi Malaysia, dan pelemahan sentimen konsumen tidak akan berpengaruh baik ke GDP. Berdasarkan laporan Bank Dunia, GDP Malaysia diperkirakan tetap di level 4,7 persen pada tahun ini, sementara di tahun 2017 GDP mencapai 5,9 persen.
Turunnya antusiasme masyarakat karena tingginya ekspektasi bahwa pemerintahan Mahathir akan mengubah kehidupan mereka.
"Ekspektasi yang tinggi karena orang-orang mengira dengan pemerintahan baru maka kehidupan mereka akan serta merta membaik dalam beberapa bulan mendatang. Tetapi jika kamu melihat pemerintahan, pemasukan mereka sedang melemah," ucap Cassey Lee, senior fellow di Singapore's ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Analis dari Moody's menyebut beberapa kebijakan Mahathir justru merugikan ekonomi Malaysia. Salah satunya adalah kebijakan menghapus Pajak Barang dan Pelayanan alias Good and Services Tax (GST) yang mengurangi pemasukan.
"Terutama karena pilihan kebijakan menghapus GST, pengurangan defisit secara stabil akan sulit diterapkan, terutama pada lingkungan global yang melemah," ujar Anuskha Shah dari Moody's Investment Service.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Naik dan Faktor Eksternal
Imbas dihilangkannya GST dengan jenis pajak terbaru mengurangi pemasukan pemerintah sekitar 20 miliar ringgit atau Rp 68,9 triliun (1 ringgit = Rp 3.446). Alhasil, utang pun membayangi keuangan Malaysia.
Moody's memperkirakan utang Malaysia tahun ini akan naik hingga 56 persen GDP mereka. Angka itu naik dari tahun sebelumnya yakni 50,7 persen dari GDP.
Kehadiran perang dagang yang memanas antara China dan Ameriak Serikat (AS) juga menjadi pukulan tersendiri ke ekonomi Malaysia. Wajar, sebab negeri jiran amat bergantung ke dagang dengan rasio ekspor terhadap GDP mencapai 71 persen pada tahun 2017.
Tak hanya itu, ekonomi China yang sedang melambat juga merugikan Malaysia. Itu terbukti dengan jatuhnya ekspor Malaysia pada bulan Februari dan Maret dibandingkan tahun lalu.
Indeks saham KLCI pun harus rela menjadi pasar terburuk di dunia akibat jatuh lebih dari 3 persen secara year-to-date, sementara indeks-indeks saham lain di Asia seadng naik. Ringgit Malaysia pun masih lemah di level 4,1 ringgit per dolar pada awal April.Â
Cassey Lee dari ISEAS-Yusof Ishak Institute menyebut pemerintah perlu kebijakan-kebijakan struktural jangka panjang seperti meningkatan dan memperbarui skill warga Malaysia dalam menghadapi perubahan ekonomi.
Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menarik pekerja asing yang memiliki talenta. "Sekarang ada kebutuhan untuk terus bergerak maju ketimbang fokus ke stabilisasi jangka pendek dan investasi infrastruktur," ujarnya.
Advertisement