Sukses

Pemindahan Ibu Kota Tak Ganggu Ekonomi Jakarta

Pemindahan ibu kota ke luar Jawa tidak akan membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta terganggu

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemindahan ibu kota ke luar Jawa tidak akan membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta terganggu. Sebab, yang akan pindah nantinya hanya pusat pemerintahan.

"Saya katakan Jakarta tidak akan terganggu sama sekali dengan pemindahan ini. Kenapa? Begini, kalau lihat komposisi PDRB Jakarta, berapa sih kontribusi dari pemerintahan? Tidak banyak, hanya sekitar 20 persen paling tinggi. Sekitar 80 persen dari swasta," ujarnya di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (13/5/2019).

Bambang mengatakan, nantinya yang pindah ke luar Jakarta adalah pemerintah pusat sementara pemerintahan provinsi DKI Jakarta tidak berubah. Untuk itu, pemerintah DKI Jakarta tetap memberi dukungan pertumbuhan ekonomi terhadap daerahnya begitupun sektor swasta yang menetap di Jakarta.

"Pemerintahan di Jakarta tetap di Jakarta, itu hanya pemerintahan pusat yang pindah dari Jakarta. Jadi intinya, pertumbuhan ekonomi Jakarta akan tetap digerakkan oleh sektor swasta dan penduduk yang pindah katakan hanya 1 juta dari 10,3 juta," jelasnya.

Selain pemerintah provinsi dan swasta, jumlah penduduk Jakarta saat ini diprediksi tetap akan memberikan sumbangsih pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ke depan.

"Dengan Jabodetabek itu hampir 25 juta orang, itu yang akan membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta tetap tinggi," tandasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Jumlah Penduduk Ibu Kota Baru akan Dibatasi

Pemerintah Jokowi-JK berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke luar Jawa. Rencana tersebut pun telah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pembangunan infrastruktur dasar ibu kota baru dapat dimulai pada 2020. Hal ini dapat terwujud apabila kajian lokasi ibu kota baru selesai tahun ini.

"Kajian ini akan kita finalkan tahun ini sehingga keputusan lokasi juga kita harapkan bisa dilakukan tahun ini. Sehingga 2020 bisa dilakukan paling tidak persiapan untuk pembangunannya maupun pembangunan infrastruktur dasar itu sendiri," ujarnya di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (13/5/2019).

Bambang melanjutkan selain kajian lokasi, pemindahan ibu kota baru juga membutuhkan landasan hukum yang kuat. Landasan hukum ini pun membutuhkan koordinasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Yang pasti beberapa produk hukum yang diperlukan awalnya adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) ini harus direvisi tentunya kalau ada wilayah yang akan dijadikan ibu kota baru," jelasnya.

Menteri Bambang menambahkan, calon ibu kota baru nantinya tidak boleh padat penduduk seperti kondisi Jakarta saat ini. Ibu kota baru ini, dipersiapkan menampung 1,5 juta penduduk yang terdiri dari anggota legislatif, yudikatif dan eksekutif antara lain PNS, Polri, TNI, DPR, MA dan MK dengan masing-masing anggota keluarga 4 orang.

"Ibu kota baru pun seperti saya sampaikan didesain hanya untuk 1,5 juta orang. Ini jumlah yang udah memperhitungkan jumlah maksimalnya. Karena perkiraan PNS di pusat beserta legislatif dan yudikatif. Karena DPR juga pindah, yudikatif MA, MK juga pindah perkiraan 200.000 orang," jelasnya.

"Kemudian yang Polri-TNI 25.000. Kemudian pihak keluarga yang pindah patokan satu keluarga 4 orang itu 800.000 ditambah pelaku bisnis yang mendukung kegiatan ekonomi di ibu kota baru karena pasti ada kegiatan ekonomi bisnis yang terkait dengan ibu kota baru. Sehingga total 1,5 juta orang," tandasnya.

3 dari 4 halaman

Ini Risiko Jika Ibu Kota Pindah

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) merencanakan pemindahan Ibu Kota Negara. Sejumlah lokasi di luar Jawa tengah ditinjau untuk memastikan kesiapannya.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira memandang, sebelum merealisasikan pemindahan ibu kota, pemerintah dinilai perlu memperhatikan sejumlah risiko.

Pertama, dengan telah diketahuinya beberapa lokasi yang menjadi opsi Ibu Kota Negara nantinya, menjadikan lahan bagi para spekulan tanah. Ini nanti bisa menyebabkan biaya pembebasan lahan cukup tinggi.

"Ini pada akhirnya bisa terkait beban utang pemerintah yang semakin membengkak," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (13/5/2019).

Kedua, jika salah satu alasan pemerintah pemindahan ibu kota karena DKI Jakarta sudah terlalu macet, sebenarnya itu bukan solusi terbaik.

"Ini tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Jumlah kendaraan dinas ynag berkurang tidak signifikan dibanding kendaraan pribadi dari swasta dan rumah tangga," tambahnya.

Resiko ketiga adalah mampu meningkatkan inflasi. Pada kenyataannya, dengan adanya arus urbanisasi sebagai dampak pemindahan ibu kota negara ini akan menimbulkan melonjaknya harga kebutuhan pokok di kota yang menjadi pilihan pemindahan ibu kota.

Dan risiko keempat, pemerintah dinilai harus membangun ekonomi masyarakat yang akan menjadi ibu kota baru sebelum nantinya dipindahkan.

"Ketimpangan di ibu kota baru makin melebar imbas pendatang, karena mereka lebih mampu secara ekonomi, dibanding dengan penduduk lokal yang miskin," pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Bagaimana Bisnis Properti Jakarta Jika Ibu Kota Pindah?

Rencana pemindahan ibu kota negara kembali kencang bergulir. Rencana ini mulai diperbincangkan setelah Presiden Joko Widodo mengadakan rapat terbatas di istana, Senin 29 April lalu.

Lantas bagaimana nasib bisnis properti di Jakarta jika ibukota dipindahkan?

Managing Director Lamudi.co.id, Mart Polman, menjelaskan bahwa rencana pemindahan ibu kota ini bisa berdampak positif terhadap bisnis properti di Jakarta, karena walaupun tidak menjadi ibu kota lagi, Jakarta akan tetap menjadi pusat perekonomian, sehingga aktivitas jual beli properti tidak akan terganggu dengan masalah politik dan pemerintahan.

“Khusus untuk properti kelas atas memang sangat berpengaruh terhadap kondisi politik dan ekonomi, jadi jika ibu kota berpindah maka bisnis jual beli properti untuk segmen atas akan tetap terjaga,“ kata Mart seperti dikutip Senin (13/5/2019).

Mart juga tetap meyakini bahwa kebutuhan hunian di Jakarta akan tetap tinggi, karena kota ini memiliki pasar properti yang sudah terbentuk, terutama untuk segmen hunian vertikal yang terkoneksi dengan moda transportasi LRT, busway dan MRT.

Selain Jakarta, Mart menilai dampak positif juga akan dirasakan pada daerah yang dipilih sebagai ibukota baru, karena nantinya disana akan dibangun beragam hunian dan infrastruktur baru yang dapat mendorong meningkatnya pasar properti.

"Kebijakan pemindahan ibu kota menjadi sangat penting. Namun, sebelum ditentukan, pemerintah tentunya perlu melakukan berbagai kajian mendalam karena selain akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, kesiapan infrastruktur juga akan menjadi salah satu pertimbangan mendasar." ujar Mart.

Sekadar catatan, berdasarkan data Lamudi saat ini Jakarta menjadi kota paling favorit dicari oleh pencari rumah dengan area pencarian terbanyak berada di kawasan Jakarta Selatan. Rata-rata harga rumah di Jakarta yang paling murah dijual Rp 11 juta per meter persegi, sementara termahal bisa mencapai Rp 62 juta per meter persegi.