Sukses

Pindah Ibu Kota Bisa Bantu Jakarta Saingi Kuala Lumpur dan Bangkok

Pemindahan pusat pemerintahan ini menjadikan peluang perusahaan swasta masuk ke Jakarta semakin besar.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengkaji beberapa lokasi untuk bisa dijadikan ibu kota negara baru pengganti DKI Jakarta. Meski pusat pemerintahan hengkang dari Jakarta, namun hal ini tidak akan megganggu pertubuhan ekonomi Jakarta itu sendiri.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, dengan pemindahan ibu kota ini dinilai justru mampu meningkatkan daya saing Jakarta sebagai kota bisnis.

Bambang menilai transaksi bisnis di Jakarta merupakan yang cukup tinggi jika dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Namun jika dibandingkan kota bisnis di ASEAN, Jakarta masih kalah dari Singapura, Kuala Lumpur (Malaysia) dan Bangkok (Thailand).

"Jakarta tetap akan berkembang bahkan membantu menjadikan Jakarta makin terpandang di dunia. Kalau sama Singapura sudah terlalu jauh, tapi paling tidak se-Level dengan Kuala Lumpur dan Bangkok," kata Bambang di Kantor Kepala Staf Presiden, Selasa (13/5/2019).

Pemindahan pusat pemerintahan ini menjadikan peluang perusahaan swasta masuk ke Jakarta semakin besar. Dengan demikian, transaksi bisnis akan semakin banyak.

Tidak hanya wilayah Jakarta yang ditinggalkan, Kalimantan, dengan salah satu kota yang menjadi tujuannya, pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat drastis.

Meski demikian, Bambang berpendapat porsi pertumbuhan ekonomi wilayah ini tidak terlalu signifikan dalam mendongkrak pertmbuhan ekonomi nasional.

"Dampak pertumbuhan ekonomi ada untuk Kalimantan. Kalau secara nasional tidak banyak ke pertumbuhan tapi lebih banyak ke pemerataan karena tujuan awalnya itu. Jadi bagaiaman menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa," pugkasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Jumlah Penduduk Ibu Kota Baru akan Dibatasi

Bambang juga mengatakan, pembangunan infrastruktur dasar ibu kota baru dapat dimulai pada 2020. Hal ini dapat terwujud apabila kajian lokasi ibu kota baru selesai tahun ini.

"Kajian ini akan kita finalkan tahun ini sehingga keputusan lokasi juga kita harapkan bisa dilakukan tahun ini. Sehingga 2020 bisa dilakukan paling tidak persiapan untuk pembangunannya maupun pembangunan infrastruktur dasar itu sendiri," ujarnya di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (13/5/2019).

Bambang melanjutkan selain kajian lokasi, pemindahan ibu kota baru juga membutuhkan landasan hukum yang kuat. Landasan hukum ini pun membutuhkan koordinasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

"Yang pasti beberapa produk hukum yang diperlukan awalnya adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) ini harus direvisi tentunya kalau ada wilayah yang akan dijadikan ibu kota baru," jelasnya.

Menteri Bambang menambahkan, calon ibu kota baru nantinya tidak boleh padat penduduk seperti kondisi Jakarta saat ini. Ibu kota baru ini, dipersiapkan menampung 1,5 juta penduduk yang terdiri dari anggota legislatif, yudikatif dan eksekutif antara lain PNS, Polri, TNI, DPR, MA dan MK dengan masing-masing anggota keluarga 4 orang.

"Ibu kota baru pun seperti saya sampaikan didesain hanya untuk 1,5 juta orang. Ini jumlah yang udah memperhitungkan jumlah maksimalnya. Karena perkiraan PNS di pusat beserta legislatif dan yudikatif. Karena DPR juga pindah, yudikatif MA, MK juga pindah perkiraan 200.000 orang," jelasnya.

"Kemudian yang Polri-TNI 25.000. Kemudian pihak keluarga yang pindah patokan satu keluarga 4 orang itu 800.000 ditambah pelaku bisnis yang mendukung kegiatan ekonomi di ibu kota baru karena pasti ada kegiatan ekonomi bisnis yang terkait dengan ibu kota baru. Sehingga total 1,5 juta orang," tandasnya.

3 dari 3 halaman

Risiko Jika Ibu Kota Pindah

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira memandang, sebelum merealisasikan pemindahan ibu kota, pemerintah dinilai perlu memperhatikan sejumlah risiko.

Pertama, dengan telah diketahuinya beberapa lokasi yang menjadi opsi Ibu Kota Negara nantinya, menjadikan lahan bagi para spekulan tanah. Ini nanti bisa menyebabkan biaya pembebasan lahan cukup tinggi.

"Ini pada akhirnya bisa terkait beban utang pemerintah yang semakin membengkak," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (13/5/2019). 

Kedua, jika salah satu alasan pemerintah pemindahan ibu kota karena DKI Jakarta sudah terlalu macet, sebenarnya itu bukan solusi terbaik.

"Ini tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Jumlah kendaraan dinas ynag berkurang tidak signifikan dibanding kendaraan pribadi dari swasta dan rumah tangga," tambahnya.

Resiko ketiga adalah mampu meningkatkan inflasi. Pada kenyataannya, dengan adanya arus urbanisasi sebagai dampak pemindahan ibu kota negara ini akan menimbulkan melonjaknya harga kebutuhan pokok di kota yang menjadi pilihan pemindahan ibu kota.

Dan risiko keempat, pemerintah dinilai harus membangun ekonomi masyarakat yang akan menjadi ibu kota baru sebelum nantinya dipindahkan.

"Ketimpangan di ibu kota baru makin melebar imbas pendatang, karena mereka lebih mampu secara ekonomi, dibanding dengan penduduk lokal yang miskin," pungkasnya.