Sukses

Bos Adaro Prediksi Harga Batu Bara akan Capai Titik Stabil

Dalam beberapa waktu ke depan tidak ada tambahan produksi batu bara.

Liputan6.com, Jakarta Adaro Energy memprediksi harga batu bara akan mencapai titik stabil‎, setelah turun beberapa waktu terakhir. Hal ini akibat pertemuan titik keseimbangan antara permintaan dan pasokan.

Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir‎ mengatakan, dalam beberapa waktu ke depan tidak ada tambahan produksi batu bara. Ini akibat dari pendanaan asing untuk memodali kegiatan penambangan batu bara yang semakin ketat.

"Permasalahan dari sisi suplai, financing baru untuk dari bank itu susah gara-gara bank asing bisnis batu bara nggak deh. Berarti kalau nggak ada financing baru, berarti suplai baru juga tidak meningkat," kata Garibaldi, di Jakarta, Kamis (16/5/2019).

Menurut Garibaldi, kondisi tersebut akan membuat pasokan batu bara di pasar ‎stabil. Sebab tidak ada pemain baru yang menambah produksi. Dengan begitu, akan berpengaruh pada harga yang stabil.

Dia pun memperkirakan harga batubara akan berada dikisaran level USD 80 per ton. "Kalau suplai tidak meningkat karena tidak ada pemain baru berarti harga stabil. Di 80-an. Sekarang di 85," tuturnya.

Garibaldi melanjutkan, untuk permintaan batu bara akan mengalami kenaikan seiring beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas besar‎ di beberapa negara Asia. Hal ini membuat stok batu bara yang saat ini berlebih menjadi terserap sesuai kebutuhan.

‎"Beberapa tahun ke depan harusnya bertambah karena PLTU Batang jadi, Vietnam jadi, Jepang, Thailand. Dia kan butuh batu bara. Saya lihat supply akan tetap akan terbatas karena financing," tandasnya.

2 dari 3 halaman

Ini Alasan Utama Kenapa Kita Sulit Lepas dari Ketergantungan Batu Bara

Sebagai bahan bakar fosil yang murah, berlimpah, dan paling berpolusi, batu bara tetap menjadi sumber energi yang paling diandalkan dalam menghasilkan listrik di seluruh dunia.

Padahal, sejak Perjanjian Paris pada 2015, banyak negara --kecuali Amerika Serikat-- sepakat untuk mengurangi ketergantungan sumber energi batu bara.

Namun faktanya, penurunan signifikan hanya terjadi kurang dari dua tahun setelahnya, di mana Jerman dan China memimpin keberatan terhadap pengetatan sumber daya alamm itu, lapor panel perubahan iklim PBB, sebagaimana dikutip dari The New York Times pada Selasa (23/4/2019).

Lalu, mengapa kita sulit untuk berpaling dari batu bara sebagai sumber energi?

Alasan pertama adalah karena batu bara adalah sumber energi petahana, yang tersimpan jutaan ton di bawah tanah.

Perusahaan-perusahaan kuat, yang didukung oleh pemerintah yang juga kuat, terus menumbuhkan pasar terkait atas alasan ekonomi. Perbankan pun masih mendapat untung dari sektor ini.

Jaringan listrik nasional di banyak negara dirancang untuk mengunakan sumber tenaga batu bara. Kekayaan fosil ini juga menjadi cara yang pasti bagi politikus untuk menjanjikan listrik murah, guna meraih suara populis.

Dan bahkan ketika energi terbarukan semakin populer, mereka masih memiliki keterbatasan. Angin dan tenaga surya mengalir ketika angin bertiup dan matahari bersinar, dan itu membutuhkan jaringan listrik tradisional yang bertenaga batu bara sebagai komplementer.

"Alasan utama mengapa batu bara bertahan adalah, kita sudah memanfaatkannya sejak lama," kata Rohit Chandra, yang meraih gelar doktor dalam kebijakan energi di Harvard University.

3 dari 3 halaman

Tetap Jadi Primadona di Negara Berkembang

Di tengah pertumbuhan ekonomi global yang intensif, batu bara tetap menjadi sumber daya utama di sebagian besar pasar negara berkembang.

Bahkan setelah beberapa pembatalan proyek di negara-negara seperti India, sekitar 100 gigawatt dalam kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara sedang dibangun.

Sebagian besar kapasitas tersebut sedang dibangun di India, Indonesia, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, Pakistan, Bangladesh, dan Afrika Selatan.

Permintaan yang meningkat terhadap batu bara tidak mungkin berkurang dalam waktu dekat.

Sebagai contoh kasus, energi alternatif dari sumber gas alam tidak bisa seketika menggantikan perannya.

Alasannya adalah karena banyak negara berkembang tidak memiliki cadangan gas utama yang murah dan mudah diakses, sehingga perlu mengimpor gas alam cair (LNG).

Tetapi biaya yang terkait dengan LNG, termasuk pencairan, transportasi, dan pembangunan infrastruktur untuk memindahkan gas ke daratan, menjadikannya tidak kompetitif dengan batu bara dalam banyak kasus.