Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Jokowi-JK mengaku kesulitan untuk menggenjot ekspor di tengah situasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Apalagi perang dagang antar kedua negara tersebut diprediksi bakal berlangsung lama.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku saat ini dirinya akan merapatkan barisan untuk mengantisipasi gejolak yang timbul dari luar negeri tersebut.
"Mendorong ekspor, mungkin tidak mudah sekarang ini setelah perang dagang makin meningkat. Tentu ini bukan jangka pendek kelihatannya," kata Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, di Kantornya, Jakarta, Jumat (17/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Diketahui, perang dagang antara China dan AS kembali memanas setelah Presiden AS, Donald Trump mengancam untuk meningkatkan lebih dari dua kali lipat tingkat tarif menjadi 25 persen pada USD 200 miliar barang-barang Cina.
Kemudian China membalas dengan mengumumkan akan menaikkan tarif pada sejumlah barang AS termasuk sayuran beku dan gas alam cair, sebuah langkah yang mengikuti keputusan Washington untuk meningkatkan pungutannya sendiri atas impor China senilai USD 200 miliar.
"Kita tidak yakin bahwa itu akan jangka pendek, kalau mereka sudah kapok tentunya mereka pasti berdamai cepat-cepat. Berarti itu mereka tidak kapok dengan perang dagang," katanya.
Tanggapan Menteri Keuangan Sri Muyani
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pun mewaspadai dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Dia mengatakan, kondisi perang dagang ini akan terus berjalan dan tidak akan reda dalam jangka pendek, sehingga dikahawatirkan akan berdampak lagi ke Indonesia.
"Karena pola konfrontasinya sangat head to head kalau bisa dikatakan, karena untuk dua negara besar ini yang mencoba secara diplomatis men-towndown itu menjadi lebih sulit, artinya ketegangan ini akan mewarnai cukup panjang," katanya saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (15/5).
"Artinya sekarang ini ekonomi dalam tekanan global yang sangat serius melalui ketidakpastian, kita harus terus melihat aspek domestik kita dan ini harus terus menjadi kewaspadaaan bagi kita," sambung dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Indef: Perang Dagang Jadi Penyebab Defisit Terparah Sepanjang Sejarah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mengalami defisit sebesar USD 2,50 miliar.
Itu dipicu oleh faktor defisit sektor migas sebesar USD 1,49 miliar, dan non-migas senilai 1,01 miliar.
Defisit neraca perdagangan tersebut merupakan yang terparah sepanjang sejarah, melampaui perolehan pada Juli 2013 lalu yang sebesar USD 2,33 miliar.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai, penyebab melebarnya defisit perdagangan pada April utamanya disebabkan oleh faktor perang dagang (trade war) antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Perang dagang yang membuat pertumbuhan ekonomi global melambat dikatakannya turut berpengaruh pada permintaan bahan baku dan barang stengah jadi dari Indonesia.
"Dalam rantai pasok global posisi Indonesia juga terimbas oleh perang dagang AS-China. Ekspor ke AS dan China bulan April masing-masing turun 5 persen dan 10 persen secara tahunan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (16/5/2019).
Dia menambahkan, perang dagang juga membuat harga komoditas unggulan masih rendah seperti harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), karet dan batubara, sehingga berdampak signifikan terhadap turunnya kinerja ekspor.
Di sisi lain, ia melanjutkan, negara-negara yang terlibat dalam perang dagang turut mengalihkan impor produksinya ke Indonesia.
Hal itu terlihat dari impor barang konsumsi sepanjang April yang meningkat 24 persen dibanding bulan sebelumnya.
"Impor spesifik asal China tumbuh 22 persen secara tahunan. Kita makin bergantung pada barang dari impor untuk memenuhi kebutuhan khususnya jelang Ramadan dan Lebaran," ungkapnya.
"Pengaruhnya kinerja net ekspor pada kuartal II diperkirakan masih tumbuh negatif. Ekonomi sepanjang tahun akan terimbas pelemahan net ekspor. Outlook ekonomi 2019 hanya tumbuh 5 persen," dia menambahkan.
Bhima juga menyatakan, dampak perang dagang ke stabilitas jangka pendek tercermin dari pelemahan kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Investor mengantisipasi memburuknya perang dagang dengan memindahkan aset berisiko tinggi ke aset rendah risiko.
"Ini terlihat dari kenaikan yen Jepang terhadap dolar sebesar 2,26 persen, dan kenaikan dolar index 0,38 persen sebulan terakhir (RTI). Rupiah diperkirakan menyentuh level psikologis baru di Rp 14.700. Sementara IHSG di 5.800-5.900 hingga akhir kuartal II 2019," pungkasnya.