Sukses

Neraca Dagang Mei Diprediksi Defisit, Ini Sebabnya

Salah satunya disebabkan oleh ekspor yang masih terhalang kondisi global.

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso memprediksi neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 masih mengalami defisit. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh ekspor yang masih terhalang kondisi global.

"Kalau dari sisi kita untuk merespons neraca perdagangan, teman-teman tahu bahwa April kemarin terpukul dengan defisit USD 2,5 miliar. Sepertinya bulan ini juga masih defisit karena ekspor berat terutama di global," ujar Susiwijono di Kantornya, Jakarta, Kamis (23/5).

Ekspor migas bulan ini diperkirakan merosot akibat penurunan harga yang cukup drastis. Khusus gas, mengalami penurunan cukup drastis.

"April itu ekspor migas drastis turunnya. Biasa di atas USD 1,1 billion per bulan, kemarin hanya USD 0,7 billion. Bulan ini kemungkinan bisa lebih rendah lagi," kata Susiwijono.

Sementara itu, jelang Ramadan permintaan barang impor juga masih akan tinggi khususnya konsumsi. Meski demikian, dia berharap, defisit bulan ini tidak akan sebesar defisit pada April.

"Kita lagi cek apakah impornya tinggi, biasanya pola musimannya jelang lebaran ini juga tinggi barang konsumsinya. Sebenernya April kemarin kombinasinya dari dua itu. Pada saat ekspor global turun, impor musimannya tinggi. Itu terjadi di April dan Mei. Kalau hitung-hitungan masih defisit, tapi mudah-mudahan tidak sebesar kemarin," tandasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Pemerintah Kaji Kebijakan Perbaiki Defisit Neraca Perdagangan Migas

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengkaji sejumlah langkah kebijakan terkait pencatatan impor minyak hasil ekplorasi Pertamina yang masuk ke Indonesia. Langkah tersebut dibahas dalam rapat koordinasi bersama sejumlah kementerian teknis.

"Sebetulnya, defisit migas kita tidak terlalu lebar. Masyarakat perlu tahu bahwa hasil eksplorasi minyak yang dilakukan Pertamina di luar negeri dan di bawa ke dalam negeri tercatat sebagai barang impor. Itulah yang menyebabkan defisit neraca perdagangan menjadi lebar," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (22/5/2019).

Dalam rapat koordinasi mengenai Neraca Perdagangan Migas ini, Pemerintah merumuskan sejumlah bauran kebijakan antara, merumuskan kebijakan ESDM per Mei 2019, terkait dengan pemanfaatan crude oil hasil eksplorasi di dalam negeri yang biasanya diekspor, sekarang sebagian diolah di dalam negeri untuk pasar dalam negeri.

"Crude oil hasil eksplorasi bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri yang selama ini diekspor, sebagian diolah di kilang Pertamina di dalam negeri. Hal ini akan mengurangi impor crude oil yang dibutuhkan oleh Pertamina untuk memproduksi BBM, seperti solar dan avtur," jelas Menko Darmin.

Ke depan, pemerintah juga menginginkan pencatatan impor atas importasi crude oil hasil eksplorasi dari investasi pertamina di luar negeri tetap dicatat.

Pencatatan atas importasi crude oil hasil investasi dari Pertamina di luar negeri tetap dicatat di Neraca Perdagangan, di samping itu hasil investasi dari Pertamina di luar negeri juga akan di catat sebagai pendapatan primer di neraca pembayaran.

"Kedua pencatatan tersebut sesuai dengan standar International Merchandise Trade Statistic (IMTS) dan standar Balance of Payment Manual IMF," katanya.

Dengan pencatatan hasil investasi Pertamina tersebut, maka pendapatan primer di Neraca pembayaran akan meningkat sehingga dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit).

3 dari 4 halaman

Perdagangan Saham Berjalan Normal meski Ada Aksi 22 Mei

Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) berjalan normal meski ada aksi 22 Mei 2019.

Direktur Utama BEI, Inarno Djajadi menuturkan, saat ini situasi bursa saham normal. Anggota bursa (AB) yang terkoneksi ke Jakarta Automated  Trading System (JATS) juga tidak ada perubahan dan semua anggota bursa terhubung.

"Di bursa situasi normal yah. Masuk semua. Lalu anggota bursa yang terkoneksi ke JATS juga terkoeksi. Kalau keamanan biasa saja,” ujar Inarno saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (22/5/2019).

Terkait IHSG melemah pada sesi pertama, Ia menuturkan, IHSG berpotensi menguat kalau situasi terkendali. "Kalau situasi terkendali rasanya indeks tidak akan ada perubahan terlalu banyak. Saya optimis rebound," tutur dia.

Sebelumnya aksi unjuk rasa 22 Mei terkait pengumuman hasil pemilu 2019 masih berlangsung di Jakarta.

Sejumlah gedung perkantoran ada memutuskan mempekerjakan karyawan dari rumah. Hal ini karena akses menuju lokasi ditutup sementara. Namun, ada juga pusat perbelanjaan yang buka.

4 dari 4 halaman

Harga Minyak Terperangkap Sentimen Perang Dagang dan Konflik AS-Iran

Harga minyak hanya sedikit bergerak dan cenderung stabil pada penutupan perdagangan Selasa. Prospek peningkatan ketegangan AS-Iran mampu diimbangi dengan kekhawatiran perang dagang.

Ketegangan AS dengan Iran diperkirakan akan menganggu pasokan minyak sehingga mendorong kenaikan harga. Sedangkan perang dagang AS dengan China diperkirakan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia sehingga menurunkan permintaan minyak.

Mengutip Reuters, Rabu (22/5/2019), harga minyak mentah berjangka Brent ditutup pada USD 72,18 per barel, naik 21 sen.

Sedangkan untuk harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS berakhir di USD 62,99 per barel, turun 11 sen.

Harga minyak WTI turun sedikit pasca American Petroleum Institute menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS naik secara tak terduga minggu lalu, sebesar 2,4 juta barel. Padahal sebelumnya para analis memperkirakan bahwa stok minyak mentah AS mengalami penurunan 599 ribu barel.

Pelaku pasar saat ini tengah menunggu laporan stok minyak dari Administrasi Informasi Energi AS yang dijadwalkan akan keluar pada Rabu pagi waktu setempat.

"Saya pikir pasar mengambil napas, menunggu bagaimana persediaan di AS," kata Andy Lipow, presiden Lipow Oil Associates di Houston.

Harga minyak mentah memang terombang-ambing terutama karena adanya perselisihan antara Amerika Serikat dan negara-negara lain.

"Situasi dengan China membuat bearish, sedangkan situasi dengan Iran membuat bullish," kata John Kilduff, analis Again Capital LLC di New York.

"Itu sebabnya saya pikir kita terus berada di jalan buntu," lanjut dia.