Liputan6.com, Jakarta Industri Hasil Tembakau (IHT) menyatakan, selama lima tahun terakhir jumlah pekerja pada mengalami penurunan secara signifikan, hal ini disebabkan penurunan produksi.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengatakan, selama lima tahun terakhir terdapat lebih dari 32 ribu pekerja yang dirumahkan.
“Jumlah tersebut adalah pekerja yang tercatat dalam organisas, yang tidak tercatat angkanya lebih besar,” kat Sudarto, di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Hal ini disebabkan penurunan produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT), dari 344,52 miliar batang pada 2014 menjadi 332,38 miliar batang pada 2018. Padahal, Kelompok Sigaret Kretek Tangan (SKT), yang menyerap paling banyak tenaga kerja pada sektor industri pengolahan tembakau, anjlok 11,86 persen.
Soedarto menjelaskan, pekerja di IHT yang kehilangan pekerjaan sebagian besar adalah pelinting SKT, umumnya pekerja tersebut adalah perempuan.
“Ketika mereka tidak lagi bekerja di pabrik rokok, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan baru, karena mereka sulit bersaing di bursa kerja karena faktor pendidikan,” ucapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perlu Perhatian Pemerintah
Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding mengatakan SKT memerlukan perhatian oleh pemerintah agar SKT tetap tumbuh positif dan industri tersebut tidak semakin tergerus.
Dia berharap, SKT tetap menjadi pilar ekonomi bagi masyarakat, dimana SKT merupakan industri yang menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang besar.
"Kebijakan pro terhadap industri hasil tembakau harus ada, akan dirumuskan apakah kebijakan mengenai harga atau kebijakan-kebijakan lain yang mendukung industri ini,” tandasnya.
Advertisement
Pemerintah Diminta Dukung Pengembangan Produk Tembakau Alternatif
Kehadiran produk tembakau alternatif di Bali menuai dukungan. Produk yang dihasilkan dari pengembangan teknologi tersebut dinilai bisa menjadi solusi bagi perokok di wilayah tersebut dan juga lingkungan sekitarnya.
"Produk tembakau alternatif adalah solusi karena tidak ada kandungan TAR-nya," kata Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Nyoman Dhamantra seperti dikutip dari Antara di Jakarta.
Berdasarkan kajian ilmiah dari Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) pada tahun 2018 menyatakan produk tembakau alternatif menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran.
Dengan demikian, produk tersebut tidak menghasilkan TAR dan berbagai zat kimia berbahaya bagi tubuh manusia.
Penelitian ini menyatakan, produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok konvensional.
Kajian ilmiah lainnya dari Public Health England (PHE), divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris. PHE menyatakan bahwa produk tembakau alternatif yang dipanaskan bukan dibakar menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen daripada rokok konvensional.
Dengan sejumlah hasil kajian ilmiah tersebut, Dhamantra berharap pemerintah mendukung pengembangan produk tembakau alternatif. Penggunaan produk dari pengembangan inovasi teknologi industri hasil tembakau itu, mengurangi dampak negatif dari rokok terhadap sekitarnya.
"Kalau biaya kesehatan bisa menurun karena jumlah perokok berkurang, semakin sedikit anggaran yang bisa disubsidi," ujar Dhamantra.