Liputan6.com, Jakarta - Perang dagang yang kembali dimulai karena Amerika Serikat (AS) dan China masih belum menemukan jalan tengah terkait sengketa dagang.
Presiden AS Donald Trump kerap menyebut praktik dagang China tidak adil dan merugikan. Namun, dunia usaha Indonesia ternyata melihat sisi positifnya. Terlebih lagi, Indonesia juga tidak terkena efek besar dari perang dagang kedua negara.
"Dibandingkan negara-negara lain dampak tak terlalu besar, karena kita tak termasuk global chain yang signifikan seperti Vietnam, Thailand, Malaysia. Jadi dampaknya ada tapi tidak terlalu signifikan," ujar Ketua Kadin Rosan Roeslani di acara open house Gubernur BI di Patiunus, Jakarta Selatan, Rabu (5/6/2019).
Advertisement
Baca Juga
Rosan pun melihat potensi bisnis dalam perang dagang yang terjadi. Salah satunya adalah produk ekspor Indonesia menjadi lebih bersaing karena barang asal China sedang terkena tarif Presiden AS Donald Trump.
Hal positifnya yang dimaksud adalah naiknya ekspor produk tekstil Indonesia sebesar 20 sampai 30 persen tahun ini. Selain itu, ekspor produk tire (ban) juga mulai kompetitif. Roslan menilai hal tersebut karena ada tarif yang dikenakan ke produk-produk China.
Masih terkait pertumbuhan ekonomi, Rosan menyebut gaji ke-13 dan THR dapat menunjang pertumbuhan ekonomi lewat ekonomi. Ini mengingat konsumsi domestik memainkan peran penting.
"Tentunya dengan adanya gaji ke-13, THR, itu tentunya mendorong orang mengkonsumsi lebih banyak. Harapannya juga mereka harus mengkonsumsi supaya pertumbuhan kita tergantung lebih dari 50 persen pada domestic consumption bisa terbantu," ujar Rosan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
AS Tak Bakal Rugi Akibat Perang Dagang, Kenapa?
Sebelumnya, Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang kembali berlanjut disebut tidak akan merugikan AS. Dampak ke Negeri Paman Sam dinilai akan kecil meski ada adu tarif besar-besaran.
Alasan kuatnya ekonomi AS adalah diversifikasi. Artinya, AS mengandalkan beragam sektor sebagai penghasilan ekonomi mereka dan tidak bergantung ke satu saja.
"Saya pikir AS adalah ekonomi yang begitu besar dan terdiversifikasi sehingga dampak terhadap ekonomi keseluruhan akan relatif kecil," ujar Presiden Federal Reserve dari St. Louis, James Bullard, seperti dikutip Reuters.
Menurut Bullard, perang dagang baru akan merugikan AS jika terjadi dalam jangka panjang. Selain itu, negara-negara luar AS yang tergantung pada dagang juga lebih merasakan dampak perang dagang.
Umumnya, negara-negara itu hanya terseret oleh perang dagang yang terjadi. Pakar dari Morgan Stanley pun mengatakan buntunya negosiasi perang dagang bisa membawa resesi ke ekonomi seluruh dunia.
"Jika pembicaraan ini terhambat, tak ada kesepakatan yang disetujui, dan AS menerapkan 25 persen tarif kepada sekitar USD 300 miliar barang impor China, kami melihat ekonomi global menuju resesi," jelas Morgan Stanley.
Resesi ekonomi dunia ditandai pertumbuhan di bawah 2,5 persen. Tahun ini, IMF memperkirakan pertumbuhan dunia adalah 3,3 persen tahun ini, turun dari perkiraan tahun 2018 yakni 3,7 persen.
Perang dagang AS-China kembali berlanjut ketika Presiden Donald Trump menerapkan tarif baru pada Jumat, 10 Mei 2019. Kedua negara sempat mengambil gencatan senjata pada Desember lalu. Negosiasi dagang pun masih terus berlanjut.
Advertisement
Perang Dagang Memanas, Dana Asing Banyak Keluar dari RI?
Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China berdampak pada iklim investasi di bursa saham Indonesia. Salah satunya, keluarnya dana asing (capital outflow) dari pasar modal.
"Masih banyakan yang outflow. Tetapi normal, maksudnya masih bisa kita mentolerir outflow itu. Tapi memang masih banyak outflow, lebih banyak yang jual daripada yang beli," tutur Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota BEI Laksono Widodo di Jakarta, Senin, 20 Mei 2019.
Kendati begitu, dia menambahkan, otoritas bursa tetap akan mengamati berbagai sentimen yang akan mempengaruhi kinerja indeks kedepannya.
"Oh, kita tetap mewaspadai, tapi apakah ini menjadi kejadian luar biasa yang membuat kami melakukan tindakan luar biasa, saya rasa belum," jelas dia.
Dia pun menjelaskan, panasnya tensi perang dagang AS-China merupakan sentimen global yang tak dapat dihindari sehingga cukup menimbulkan kecemasan bagi investor.
"Tetap menimbulkan semacam kekhawatiran dan juga enggak bisa dihindari bahwa kenyatannya perang dagang masih menjadi headline dimana-mana. Kalau Amerika masih batuk-batuk, maka seluruh dunia kena, termasuk Indonesia. Jadi penyebabnya itu," kata dia.