Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan membuat larangan diskon untuk moda transportasi berbasis online. Kebijakan ini akan diterbitkan dalam waktu dekat.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, saat ini operator memang sudah tidak memberikan diskon tarif secara langsung. Namun diskon diberikan oleh mitra operator yang menyediakan jasa pembayaran elektronik.
Advertisement
Baca Juga
"Diskon langsung maupun tidak langsung. Diskon langsung relatif tidak Ada, diskon yang ada ini relatif tidak langsung, yang diberikan oleh patner-patnernya," kata Budi, di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (10/5/2019).
Budi pun akan membuat larangan pemberian diskon tarif untuk transportasi online baik ojek online dan taksi online. Hal ini untuk menjaga persaingan usaha yang sehat antara operator. Larangan ini akan tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan.
"Oleh karenanya kita merancang satu Peraturan Menteri atau surat edaran yang melarang diskon," tuturnya.
Menurut Budi, tarif transportasi online harus mempertimbangkan kesetaraan dan keseimbangan, sehingga untuk menjalankan prinsip tersebut dia menginginkan tidak ada diskon tarif transportasi online, baik secara langsung atau tidak langsung.
"Diskon itu saya sampaikan bahwa yang namanya tarif online itu harus equilibrium harus quality, jadi dengan equal ini kita minta tidak ada diskon," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Atur Promo dan Diskon, Menhub Ingin Hindari Perang Harga Ojek Online
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah mempersiapkan revisi dua aturan tentang ojek online (ojol). Diketahui ada dua poin yang bakal dimasukkan dalam revisi.
Poin pertama terkait sanksi bagi perusahaan penyedia jasa aplikasi ojek online alias aplikator yang tidak mematuhi regulasi. Kedua, aturan terkait diskon atau promo yang ditawarkan aplikator.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pengaturan terkait promo dan diskon oleh aplikator memang perlu dilakukan. Dengan demikian, tidak ada perang harga antara aplikator.
"Promo itu kan sebenarnya begini, kita kan ingin para aplikator ini tidak melakukan satu diskon langsung maupun tidak langsung, atau perang harga. karena itu diatur," kata dia, di Jakarta, Jumat (23/5/2019).
"Untuk mengatur itu, mesti mengatur baik yang dilakukan terhadap pengemudi maupun pengguna. Nah, kalau yang pengemudi sudah diatur, sekarang pengguna yang lagi dibahas. Termasuk kita sedang membahas apakah aturan itu akan terpisah atau tidak," jelas dia.
Saat ini, Kementerian Perhubungan sedang membahas terkait aturan tersebut. Salah satunya mengenai formulasi pengaturan terkait promo dan diskon.
"Itu juga termasuk yang akan diformulasikan apakah boleh atau tidak boleh sama sekali," dia menuturkan.
Advertisement
Ada Tarif Baru, Penghasilan Sopir Ojek Online Naik 30 Persen
Tarif baru ojek online telah berjalan hampir sebulan lamanya setelah resmi berlaku pada 1 Mei 2019 lalu. Tarif baru tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 348 Tahun 2019 dan berlaku di lima kota besar yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makasar.
Head of Public Affairs Grab Indonesia, Tri Sukma Anreianno menyebutkan, sejak adanya kenaikan tersebut, pendapatan para pengemudi atau driver pun ikut terdongkrak hingga 30 persen.
"Jadi kalau kita lihat dari segi kita boleh tanya di wilayah yang Jakarta saja kita melihat ada kenaikan 25 sampai 30 persen pendapatan pengemudi karena kenaikannya memang lumayan, cukup lumayan. Jadi ada kenaikan," kata dia saat ditemui di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Kamis (23/5).
Kendati demikian, dia mengakui kenaikan tarif membuat orderan menurun meski angkanya tidak signifikan.
"Memang ada beberapa masukan dari penumpang tapi bagi kita masih dalam tarap wajar dan kebanyakan juga mengerti bahwa sudah waktunya untuk pengemudi di ojek online itu mendapatkan ada kenaikan lah," ujarnya.
Selain itu, dia menjelaskan penurunan jumlah penumpang merupakan siklus tahunan sebab bertepatan dengan bulan Ramadan.
"Kalau penurunan itu biasa, dalam arti mendekati Ramadan itu di bulan puasa memang terjadi perubahan pola pergerakan penumpang. Jadi biasanya tahun-tahun kemarin pun masuk bulan puasa terjadi penurunan, itu wajar, dengan adanya ini pun kita lihat juga sama jadi masih dalam batas batas normal," ungkapnya.
Kendati demikian dia mengaku tidak mengetahui persis angka penurunan jumlah penumpang dari ojek online. Namun kondisinya dipastikan sama dengan periode tahun lalu.
"Memang ada penurunan, trennya begitu nanti dia naik lagi mendekati Idul Fitri dia naik lagi, selalu begitu karena orang mengurangi aktivitas dia untuk mobiilitas. Saya gak punya angkanya tapi trennya turun dulu. Penurunan dengan tahun lalu kurang lebih sama," ujarnya.
Dia memastikan Grab mendukung penuh kebijakan mengenai aturan tarif tersebut sebab sudah melalui proses yang panjang serta banyak pertimbangan.
"Tidak ada yang sempurna memang tapi inilah mungkin yang menurut pemerintah yang terbaik," tutupnya.
Lakukan Perang Tarif, Ojek Online Bisa Kena Denda
Kementerian Perhubungan telah menetapkan besaran tarif ojek online yang berlaku efekif pada 1 Mei 2019 lalu. Lahirnya aturan tersebut kemudian menimbulkan aksi perang tarif bagi dua aplikator seperti Gojek dan Grab. Sebab, subsidi dan perang tarif menjadi bagian dari skema promosi oleh keduanya.
Mantan Ketua Komisi Pengawas Pesaing Usaha (KPPU) Periode 2015-2018, Syarkawi Rauf, mengatakan apabila promo yang diberikan kedua aplikator tersebut terindikasi ada praktik predatory pricing atau dikenal dengan monopoli, maka KPPU secara tegas dapat menjatuhkan sanksi berupa denda.
"Sanksinya dari KPPU, pengalaman saya untuk tindakan seperti ini biasanya disanksi denda. Cuma kelemahannya Undang-Undang Persaingan kita (denda) maksimum Rp 25 miliar," katanya saat ditemui di Jakarta, seperti ditulis Selasa (21/5).
Seperti diketahui berdasarkan Undang-Undang Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur ketentuan denda minimal sebesar 1 miliar dan maksimal Rp 25 miliar.
Dalam pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan tindakan Administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa: (g) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1 miliar dan setinggi-tingginya Rp 25 millar.
Kendati demikian, Syarkawi menyebut status denda yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut tidak akan memberikan dampak besar, apalagi kedua aplikator tersebut kini sudah menyandang status decarcon atau startup yang telah memiliki valuasi atau nilai sedikitya USD 10 miliar.
"Kalau di Jepang denda ia mencapai 30 persen keuntungan atau aset itu bisa meberikan efek jera," pungkasnya.
Advertisement