Sukses

Perang Lawan AS, Neraca Dagang China Surplus Rp 592 Triliun di Mei

Meski ada perang dagang, perdagangan China masih berhasil surplus.

Liputan6.com, Beijing - China tampak masih bisa bertahan di tengah panasnya Perang Dagang. Terbukti, ekonomi negaranya berhasil surplus hingga USD 41,6 miliar atau Rp 592 triliun (USD 1 = Rp 14.226).

Capaian itu jauh melewati prediksi para ekonom, yaitu sebesar USD 20,5 miliar (Rp 291,6 triliun). Ekspor juga naik 1,1 persen dibanding Mei tahun lalu dan impor turun 8,5 persen, demikian laporan CNBC.

Surplus dagang China pada bulai Mei juga melesat tinggi dibandingkan bulan April yang sebesar USD 13,8 miliar (Rp 196,3 triliun). Lebih rendahnya surplus dagang pada bulan April karena naiknya impor hingga 4 persen dan ekspor jatuh 2,7 persen.

Selain itu, surplus dagang China terhadap AS juga makin melebar bulan ini, yakni USD 26,89 miliar (Rp 382,5 triliun). Untuk April surplusnya sebesar USD 21,01 miliar (Rp 298,9 triliun).

Masalah ketidakseimbangan dagang antara kedua negara itulah yang turut menjadi motivasi Presiden Donald Trump untuk melakukan perang tarif dengan China. Tahun lalu, ekspor China ke Amerika Serikat naik jadi 11,3 persen, sementara impornya hanya 0,7 persen.

Meski surplus China naik tajam, analis memperkirakan China tetap terkena pengaruh negatif perang dagang. Data IMF dan Morgan Stanley menurunkan forecast pertumbuhan China akibat kisruh dagang yang terjadi.

Pada sisi lain, data pekerjaan AS bulan Mei yang sedang melemah membuat kedua negara itu berada di posisi yang imbang. Analis ekonomi dan pasar Asia dari City, Johanna Chua, berkata kesepakatan dagang bisa memberi dampak positif bagi AS dan China.

"Untuk sekarang, dari sudut pandang ekonomi, kedua negara itu bisa meraup banyak keuntungan dari sebuah kesepakatan. Tetapi saya pikir dari sisi politik, hal ini makin sulit," ujar Chua.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Perang Dagang Bikin Pertumbuhan Ekspor Global Anjlok

 Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Iskandar Simorangkir mengatakan, dampak perang dagang mengakibatkan pertumbuhan ekspor negara-negara di dunia ikut menurun.

Kendati begitu, pasca melunaknya tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) terhadap dua mitra dagangnya yakni Kanada dan Meksiko diharapkan dapat menurunkan panasnya tensi perang dagang yang tinggi kedepanya terhadap China.

"Terkait global ekspor itu semua mengalami penurunan akibat (perang dagang). Untuk growth ekspor sendiri tampaknya baru Vietnam dan India saja yang masih belum turun," ujar dia di Gedung Kemenko, Senin (10/6/2019).

Dia melanjutkan, kelanjutan perang dagang AS-China ke depan akan ditentukan dari hasil pertumbuhan ekonomi AS kuartal II 2019.

"Kepastiannya itu setelah pertumbuhan triwulan kedua, kalau hasilnya pertumbuhan ekonomi AS menurun, itu pasti nggak akan berlangsung lama ketegangan AS-China. Tapi kalau turun, saya termasuk yakin nggak mungkin AS ngotot terus menerus perang dagang tensi tinggi seperti sekarang ini," kata dia.

Sementara itu, untuk Indonesia, pihaknya menilai pemerintah sebaiknya mengurangi impor terlebih dahulu untuk produk-produk berpengaruh langsung. Produk itu ialah barang belanja modal yang bisa diproduksi di dalam negeri.

"Karena impor kita kontraksinya lebih besar dari ekspor akibat perang dagang ini maka salah satu caranya ialah mengerem dulu impor yang tidak berpengaruh langsung dan bisa diproduksi dalam negeri," kata dia.

"Berpengaruh langsung itu misalnya barang-barang belanja modal, kalau mesin-mesin bagus tuh untuk investasi, ya jangan di rem. Bisa mengenerate lapangan pekerjaan, output baru dalam ekonomi," ia menambahkan.

3 dari 3 halaman

Bank Dunia Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Global Tak Pengaruhi RI

Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global hingga 0,3 persen pada 2019. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan menyentuh 2,9 persen.

Namun, berdasarkan laporan Global Economic Prospects edisi Juni menyatakan pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya 2,6 persen. Tentunya hal ini akan mempengaruhi perekonomian global termasuk Indonesia.

Menanggapi perihal ini, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, jika hal ini tidak akan mempengaruhi Indonesia secara langsung.

"Hal ini karena AS dan China yang tidak bisa ditebak. Jadi banyak orang jadi pesimis. Namun bagaimana dampaknya? Dampak negatif pada ekonomi kita pasti ada, namun tidak langsung dalam skala besar tapi ada," ujar dia saat mengadakan konferensi pers, Rabu, 5 Juni 2019.

Darmin menambahkan, perdagangan dunia pasti akan melambat karena konflik dua negara perekonomian besar yang tak kunjung usai ini. Sementara hal ini juga pastinya akan mempengaruhi ekspor Indonesia.

Meskipun demikian, Darmin mengatakan, ekonomi Indonesia masih terbilang akan aman meskipun sedikit mengalami gangguan.

Ini karena masih ada faktor lain yang membuatnya terjaga salah satu meningkatnya peringkat kredit utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB oleh Standard and Poor’s (S&P).

"Nah kalau saya bilang tadi ekonomi kita masih relatif oke karena ada faktor-faktor lain. lihat itu saja S&P. Meskipun perekonomian global melambat dan Indonesia juga kena imbas, tapi karena ada faktor lain jadi masih ada investor yang tetap berinvestasi, banyak yang mau,” tandasnya.