Liputan6.com, Washington D.C. - Google terkuak meraup banyak keuntungan berkat berita online. Terbukti, sekitar 40 persen klik di trending Google merupakan hasil berita.
Total pendapatan Google pada tahun 2018 ditaksir mencapai USD 4,7 miliar atau Rp 66,9 triliun (USD 1 = Rp 14.246), demikian laporan The Wrap. Pendapatan itu termasuk hasil konten berita Google Search dan Google News.
Advertisement
Baca Juga
Jumlah USD 4,7 miliar lebih tinggi ketimbang pemasukan film Avengers: Endgame, dan itu baru pemasukan di Amerika Serikat (AS) saja. Temuan itu berasal dari studi News Media Alliance yang mewakili lebih dari 2.000 organisasi berita di AS.
Berikut statistik kunci perihal pencarian berita di Google:
- Sekitar 39 persen hasil dan 40 persen klik di daftar trending adalah hasil berita
- Sekitar 16 persen hasil dan 16 persen klik dari daftar "paling banyak dicari" adalah hasil berita
"Berita menjadi tambah penting bagi Google karena terbukti ada penambahan pencarian Google tentang berita," tulis laporan itu. "Google bergantung berat pada konten berita untuk menambah engagement pengguna."
Presiden News Media Alliance David Chavern berkata pihak pewarta berhak mendapat bagian dari uang yang Google raup berkat kerja mereka.
"Mereka menghasilkan uang dari skema ini dan perlu ada hasil yang lebih baik bagi para news publisher," ujar Chavern kepada The New York Times.
Pihak Google tak setuju dengan studi tersebut dan menyebutnya tidak akurat. Mereka berdalih juga membantu pihak penyedia berita dengan menunjang pelanggan dan penghasilan iklan.
"Kami sudah bekerja sangat keras untuk menjadi teknologi kolaboratif dan suportif serta mitra iklan bagi news publisher di seluruh dunia," ujar pihak Google.
 Pembaca berita online naik drastis sejak tahun 1990. Pada tahun 1996, hasil survei Pew menyebut hanya 2 persen warga Amerika Serikat (AS) yang mencari berita online, itu pun hanya dua kali seminggu. Tahun lalu, 9 dari 10 orang dewasa di AS sudah mengakses berita online.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Google, Intel dan Qualcomm Putus Hubungan dengan Huawei
Beralih ke kabar lain, akhir pekan lalu jadi minggu yang buruk bagi Huawei. Setelah Amerika Serikat (AS) memasukkan Huawei ke daftar hitam perdagangan negara tersebut, kini diikuti dengan sejumlah perusahaan AS yang mulai menghentikan kerja sama dengan perusahaan teknologi Tiongkok itu.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya pemerintah AS melarang perusahaan-perusahaan AS untuk berbisnis dengan Huawei.
Terbaru setelah Google menghentikan dukungan update terhadap smartphone Huawei, tiga perusahaan perancang dan pemasok chip terkemuka di dunia, yakni Intel, Qualcomm, dan Broadcom memutuskan hubungan dengan Huawei. Demikian dikutip Tekno Liputan6.com dari The Verge.
Pemutusan hubungan antara ketiga perusahaan di atas dengan Huawei kabarnya bakal segera berlaku.
Menurut sumber Bloomberg, karyawan di seluruh perusahaan pembuat chipset utama AS telah diberitahu bahwa perusahaan mereka akan membekukan penawaran pasokan dengan Huawei, hingga ada pemberitahuan lebih lanjut.
Sekadar informasi, Intel memberi Huawei  chip server dan prosesor untuk jajaran laptop Huawei. Sementara, Qualcomm menyediakan modem dan prosesor dalam jumlah minim untuk Huawei.
Advertisement
Huawei Sudah Persiapkan Diri
Huawei sebenarnya cukup terisolasi dari dampak Qualcomm. Oleh karenanya, Huawei membangun prosesor dan modem seluler sendiri.
Laporan Bloomberg lain menyebut, Huawei telah mempersiapkan kemungkinan ini dengan menimbun chip dari pemasok AS untuk bertahan setidaknya tiga bulan.
Seharusnya hal ini cukup untuk mengetahui apakah tindakan AS hanya menakut-nakuti atau permanen.
Sekadar informasi, Huawei telah mengembangkan alternatif untuk OS Android dan Windows, tujuannya adalah mengatasi situasi seperti sekarang ini.
Microsoft sendiri belum mengomentari apakah mereka akan terus menyediakan OS Windows untuk laptop Huawei, namun kemungkinan, Microsoft akan menghormati perintah pemerintah AS.
Upaya pemerintah AS untuk mengesampingkan Huawei memang telah berlangsung lama. Sebelumnya Huawei ditolak memasuki pasar smartphone AS.
Peningkatan saat ini adalah bagian dari pertikaian perdagangan yang semakin tidak bersahabat antara pemerintah Trump dan pemerintah Tiongkok.