Sukses

Trump: Jika Presiden Xi Jinping Tak Hadiri G20, Tarif Impor China Bakal Naik

Presiden AS Donald Trump meningkatkan tarif pada pekan lalu atas barang-barang impor dari China senilai USD 200 miliar.

Liputan6.com, Washington - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengkonfirmasikan kalau pihaknya akan kenakan tarif tambahan terhadap barang-barang China jika Presiden China Xi Jinping tidak hadiri pertemuan G20 pada Juni 2019.

Ketika ditanya dalam wawancara telepon, apakah itu berarti tarif baru akan segera berlaku, Trum menuturkan, hal itu akan dapat terjadi. "Ya, itu akan terjadi," ujar dia kepada CNBC, Selasa (11/6/2019).

Sebelumnya Trump mengancam akan mengenakan pungutan lagi atas barang-barang China senilai USD 300 miliar jika kesepakatan perdagangan tidak segera tercapai.

Pemerintahan AS meningkatkan tarif pada pekan lalu atas barang-barang impor dari China senilai USD 200 miliar.

Trump seharusnya bertemu dengan Xi Jinping di KTT G20 yang dijadwalkan pada 28-29 Juni di Osaka, Jepang. Para pemimpin dari 19 negara dan Uni Eropa diharapkan hadir.

Trump mengatakan, dia akan terkejut jika Xi Jinping tidak hadir. Ia menuturkan, memiliki "hubungan baik" dengan Xi Jinping.

Ketika perang dagang antara AS dan China berlanjut, Donald Trump mengatakan, pihaknya akan terus menaikkan tarif barang China. Pemerintahannya saat ini mengenakan pajak 35 persen hingga 40 persen dari barang impor. "Jika kesepakatan tidak tercapai, 60 persen lainnya bakal kena pajak," kata Trump.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Perang Dagang Lawan AS, Neraca Dagang China Surplus pada Mei

Sebelumnya, China tampak masih bisa bertahan di tengah panasnya Perang Dagang. Terbukti, ekonomi negaranya berhasil surplus hingga USD 41,6 miliar atau Rp 592 triliun (USD 1 = Rp 14.226).

Capaian itu jauh melewati prediksi para ekonom, yaitu sebesar USD 20,5 miliar (Rp 291,6 triliun). Ekspor juga naik 1,1 persen dibanding Mei tahun lalu dan impor turun 8,5 persen, demikian laporan CNBC.

Surplus dagang China pada bulai Mei juga melesat tinggi dibandingkan bulan April yang sebesar USD 13,8 miliar (Rp 196,3 triliun). Lebih rendahnya surplus dagang pada bulan April karena naiknya impor hingga 4 persen dan ekspor jatuh 2,7 persen.

Selain itu, surplus dagang China terhadap AS juga makin melebar bulan ini, yakni USD 26,89 miliar (Rp 382,5 triliun). Untuk April surplusnya sebesar USD 21,01 miliar (Rp 298,9 triliun).

Masalah ketidakseimbangan dagang antara kedua negara itulah yang turut menjadi motivasi Presiden Donald Trump untuk melakukan perang tarif dengan China. Tahun lalu, ekspor China ke Amerika Serikat naik jadi 11,3 persen, sementara impornya hanya 0,7 persen.

Meski surplus China naik tajam, analis memperkirakan China tetap terkena pengaruh negatif perang dagang. Data IMF dan Morgan Stanley menurunkan forecast pertumbuhan China akibat kisruh dagang yang terjadi.

Pada sisi lain, data pekerjaan AS bulan Mei yang sedang melemah membuat kedua negara itu berada di posisi yang imbang. Analis ekonomi dan pasar Asia dari City, Johanna Chua, berkata kesepakatan dagang bisa memberi dampak positif bagi AS dan China.

"Untuk sekarang, dari sudut pandang ekonomi, kedua negara itu bisa meraup banyak keuntungan dari sebuah kesepakatan. Tetapi saya pikir dari sisi politik, hal ini makin sulit," ujar Chua.

3 dari 3 halaman

Perang Dagang Bikin Pertumbuhan Ekspor Global Anjlok

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Iskandar Simorangkir mengatakan, dampak perang dagang mengakibatkan pertumbuhan ekspor negara-negara di dunia ikut menurun.

Kendati begitu, pasca melunaknya tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) terhadap dua mitra dagangnya yakni Kanada dan Meksiko diharapkan dapat menurunkan panasnya tensi perang dagang yang tinggi ke depannya terhadap China.

"Terkait global ekspor itu semua mengalami penurunan akibat (perang dagang). Untuk growthekspor sendiri tampaknya baru Vietnam dan India saja yang masih belum turun," ujar dia di Gedung Kemenko, Senin, 10 Juni 2019.

Dia melanjutkan, kelanjutan perang dagang AS-China ke depan akan ditentukan dari hasil pertumbuhan ekonomi AS kuartal II 2019.

"Kepastiannya itu setelah pertumbuhan triwulan kedua, kalau hasilnya pertumbuhan ekonomi AS menurun, itu pasti nggak akan berlangsung lama ketegangan AS-China. Tapi kalau turun, saya termasuk yakin nggak mungkin AS ngotot terus menerus perang dagang tensi tinggi seperti sekarang ini," kata dia.

Sementara itu, untuk Indonesia, pihaknya menilai pemerintah sebaiknya mengurangi impor terlebih dahulu untuk produk-produk berpengaruh langsung. Produk itu ialah barang belanja modal yang bisa diproduksi di dalam negeri.

"Karena impor kita kontraksinya lebih besar dari ekspor akibat perang dagang ini maka salah satu caranya ialah mengerem dulu impor yang tidak berpengaruh langsung dan bisa diproduksi dalam negeri," kata dia.

"Berpengaruh langsung itu misalnya barang-barang belanja modal, kalau mesin-mesin bagus tuh untuk investasi, ya jangan di rem. Bisa mengenerate lapangan pekerjaan, output baru dalam ekonomi," ia menambahkan.

 

Â